Film India dan Toleransi Beragama
India memiliki cara kreatif dalam menangani fundamentalisme, permasalahan sektarian berbasis agama. Lewat dunia perfilman, karakter yg cenderung kaku hidup beragama dihadapkan dengan tokoh yang lebih fleksibel dan sekuler. Ada yg dibalut dengan romansa beda agama seperti film PK , ada yang dibungkus menggunakan cerita heroik pemuda Hindu taat yang menyelamatkan bocah muslim Pakistan (bajrangi bhaijaan), ada yang menggugat Tuhan pada pengadilan, dan terdapat pula yang menghadirkan makhluk asing tak beragama mencari Tuhan di bumi insan (PK).
Narasi perang sipil antara Pakistan serta India yang menewaskan begitu poly insan sebagai refleksi besar bagi para pemuda pekerja budaya itu buat meredam tumbuhnya benih-benih fundamentalisme. Apabila berhasil tumbuh subur, benih tersebut pada gilirannya akan membuahkan keyakinan bahwa hanya terdapat satu bukti diri tunggal yang kodrati serta inheren pada diri seorang.
“Sungguh berbahaya delusi semacam itu,” istilah Amartya Sen, peraih Hadiah Nobel Ekonomi, penulis kitab Identity and Violence, serta intelektual yang jua asal berdasarkan India. Identitas akan dicermati sebagai beban, tuntutan, dan landasan yang lalu membentuk suatu misi “meng-kami-kan kalian”. Bila hingga pada titik ekstremnya, ia akan memakai cara-cara kekerasan, baik fisik, lisan, ataupun struktural.
“Bagaimana mungkin sekelompok insan yang sebenarnya berasal menurut kelas sosial yang sama saling membunuh atas nama kepercayaan dan fanatisme gerombolan ?” Demikian somasi Sen terhadap peristiwa kerusuhan antara buruh Hindu serta Islam yg berada dalam kondisi miskin secara ekonomi sampai partisipasi politik. Negeri bagian selatan Asia Selatan itu terbelah menjadi India dan Pakistan akibatnya.
Dari sini, bukti diri memperoleh wataknya yg imperialistis: menihilkan afiliasinya menggunakan identitas lain yang ada pada orang maupun kelompok di luar dirinya. Identitas dimaknai sebagai bulat-lingkaran yang nir saling beririsan. Nilai, kebudayaan, ataupun prioritas lain pun disingkirkan. Pandangan berikut”meminjam bahasa Sen”menjadikan bukti diri exclusive belong to one class. Terpisah, berjarak.
Ilusi mengenai afiliasi tunggal identitas sebenarnya dipupuk sang logika yang fragmentaris, patah-patah. Kadang kala, patahan ini disokong segelintir kalangan yg berniat memperoleh laba ekonomi-politik menggunakan memanfaatkan kekeliruan cara pandang kita saat mengidentifikasikan diri pada relasinya menggunakan orang atau gerombolan lain.
Kekeliruan tersebut ditimbulkan lantaran insan semata dipandang menurut agamanya saja, atau etnisnya saja, atau gendernya saja, serta lain sebagainya. Bukankah kekerasan jua lahir karena mengabaikan irisan bukti diri antara dirinya menggunakan orang serta grup lain? Apalagi jika hal ini diterjemahkan sebagai takdir. Tidakkah juga kolonialisme lahir dari asumsi “takdir kami untuk memberadabkan mereka, pribumi pada negara bekas jajahan? Identity is destiny menerima konotasi antagonistisnya pada sini.
* * *
“Civilization is a tree with many roots,” begitu Harry Eyres mendefinisikan peradaban. Sebagaimana peradaban, bukti diri insan dibuat berdasarkan berbagai macam pertalian. Bagaikan pohon berakar serabut, kita sesungguhnya terikat sang sekian banyak afiliasi identitas meski kerap kali tanpa disadari.
Melalui cara pandang misalnya itu, kita dapat belajar bahwa manusia mesti dipahami pada kepribadiannya yang majemuk. Acoter lahir sebagai orang Bone, beragama Islam, kuliah di Universitas Hasanuddin, dan penggemar klub sepak bola Liverpool. Albert terlahir menjadi orang Toraja, beragama Katolik, kuliah di Universitas Negeri Makassar, dan penggila klub sepak bola Manchester.
Mereka tidak sinkron dalam poly hal, tetapi keduanya dipertemukan sang pandangan politik yg sama, yaitu menolak segala bentuk privatisasi di dunia pendidikan. Manakala berproses menghadapi berita itu beserta-sama, segenap keberbedaan di antara mereka ditanggalkan buat ad interim. Itulah saat waktu identity is destiny menemukan konotasinya yg protagonis, unik, serta lentur.
Atau, kita mampu mengambil contoh historis kisah cendekiawan muslim di kurang lebih abad ke-lima hingga ke-7 Masehi, yg memiliki ketertarikan terhadap sains dan sebagai garda depan pada membuatkan ilmu pengetahuan tanpa memandang kepercayaan atau dari berdasarkan etnis mana orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut. Komitmen terhadap ilmu pengetahuan berhasil membentuk keterikatan pada antara mereka.
Atau, kita dapat menarik model konsep gender pada suku Bugis yg mendapat keberadaan jenis kelamin ketiga dan keempat (calabai’, calalai’, dan bissu’), bahkan calabai’ dan bissu’ diberi kiprah dalam pranata sosial masyarakat Bugis. Belakangan, eksistensi mereka dievaluasi haram oleh gerombolan fundamentalis yang menolak LGBT (lesbian, gay, biseksual, serta transgender) sebagai bukti diri insan. Padahal, boleh jadi di antara mereka yang menolak adalah pula orang Bugis.
Barangkali kita perlu belajar berdasarkan intelektual serta pekerja budaya di India yang menghadapi fundamentalisme bukan lewat cara kekerasan, melainkan dengan menunjukkan sebuah konstruksi yang majemuk tentang identitas. “Agar kita tidak terkurung sang cakrawala pandang kita sendiri,” istilah Amartya Sen di akhir bukunya.
Harry Isra M.
*) Anggota LAW serta Mahasiswa Sastra Universitas Hasanuddin
Dikutip berdasarkan Koran tempo 13 april 2018
Narasi perang sipil antara Pakistan serta India yang menewaskan begitu poly insan sebagai refleksi besar bagi para pemuda pekerja budaya itu buat meredam tumbuhnya benih-benih fundamentalisme. Apabila berhasil tumbuh subur, benih tersebut pada gilirannya akan membuahkan keyakinan bahwa hanya terdapat satu bukti diri tunggal yang kodrati serta inheren pada diri seorang.
“Sungguh berbahaya delusi semacam itu,” istilah Amartya Sen, peraih Hadiah Nobel Ekonomi, penulis kitab Identity and Violence, serta intelektual yang jua asal berdasarkan India. Identitas akan dicermati sebagai beban, tuntutan, dan landasan yang lalu membentuk suatu misi “meng-kami-kan kalian”. Bila hingga pada titik ekstremnya, ia akan memakai cara-cara kekerasan, baik fisik, lisan, ataupun struktural.
“Bagaimana mungkin sekelompok insan yang sebenarnya berasal menurut kelas sosial yang sama saling membunuh atas nama kepercayaan dan fanatisme gerombolan ?” Demikian somasi Sen terhadap peristiwa kerusuhan antara buruh Hindu serta Islam yg berada dalam kondisi miskin secara ekonomi sampai partisipasi politik. Negeri bagian selatan Asia Selatan itu terbelah menjadi India dan Pakistan akibatnya.
Dari sini, bukti diri memperoleh wataknya yg imperialistis: menihilkan afiliasinya menggunakan identitas lain yang ada pada orang maupun kelompok di luar dirinya. Identitas dimaknai sebagai bulat-lingkaran yang nir saling beririsan. Nilai, kebudayaan, ataupun prioritas lain pun disingkirkan. Pandangan berikut”meminjam bahasa Sen”menjadikan bukti diri exclusive belong to one class. Terpisah, berjarak.
Ilusi mengenai afiliasi tunggal identitas sebenarnya dipupuk sang logika yang fragmentaris, patah-patah. Kadang kala, patahan ini disokong segelintir kalangan yg berniat memperoleh laba ekonomi-politik menggunakan memanfaatkan kekeliruan cara pandang kita saat mengidentifikasikan diri pada relasinya menggunakan orang atau gerombolan lain.
Kekeliruan tersebut ditimbulkan lantaran insan semata dipandang menurut agamanya saja, atau etnisnya saja, atau gendernya saja, serta lain sebagainya. Bukankah kekerasan jua lahir karena mengabaikan irisan bukti diri antara dirinya menggunakan orang serta grup lain? Apalagi jika hal ini diterjemahkan sebagai takdir. Tidakkah juga kolonialisme lahir dari asumsi “takdir kami untuk memberadabkan mereka, pribumi pada negara bekas jajahan? Identity is destiny menerima konotasi antagonistisnya pada sini.
* * *
“Civilization is a tree with many roots,” begitu Harry Eyres mendefinisikan peradaban. Sebagaimana peradaban, bukti diri insan dibuat berdasarkan berbagai macam pertalian. Bagaikan pohon berakar serabut, kita sesungguhnya terikat sang sekian banyak afiliasi identitas meski kerap kali tanpa disadari.
Melalui cara pandang misalnya itu, kita dapat belajar bahwa manusia mesti dipahami pada kepribadiannya yang majemuk. Acoter lahir sebagai orang Bone, beragama Islam, kuliah di Universitas Hasanuddin, dan penggemar klub sepak bola Liverpool. Albert terlahir menjadi orang Toraja, beragama Katolik, kuliah di Universitas Negeri Makassar, dan penggila klub sepak bola Manchester.
Mereka tidak sinkron dalam poly hal, tetapi keduanya dipertemukan sang pandangan politik yg sama, yaitu menolak segala bentuk privatisasi di dunia pendidikan. Manakala berproses menghadapi berita itu beserta-sama, segenap keberbedaan di antara mereka ditanggalkan buat ad interim. Itulah saat waktu identity is destiny menemukan konotasinya yg protagonis, unik, serta lentur.
Atau, kita mampu mengambil contoh historis kisah cendekiawan muslim di kurang lebih abad ke-lima hingga ke-7 Masehi, yg memiliki ketertarikan terhadap sains dan sebagai garda depan pada membuatkan ilmu pengetahuan tanpa memandang kepercayaan atau dari berdasarkan etnis mana orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut. Komitmen terhadap ilmu pengetahuan berhasil membentuk keterikatan pada antara mereka.
Atau, kita dapat menarik model konsep gender pada suku Bugis yg mendapat keberadaan jenis kelamin ketiga dan keempat (calabai’, calalai’, dan bissu’), bahkan calabai’ dan bissu’ diberi kiprah dalam pranata sosial masyarakat Bugis. Belakangan, eksistensi mereka dievaluasi haram oleh gerombolan fundamentalis yang menolak LGBT (lesbian, gay, biseksual, serta transgender) sebagai bukti diri insan. Padahal, boleh jadi di antara mereka yang menolak adalah pula orang Bugis.
Barangkali kita perlu belajar berdasarkan intelektual serta pekerja budaya di India yang menghadapi fundamentalisme bukan lewat cara kekerasan, melainkan dengan menunjukkan sebuah konstruksi yang majemuk tentang identitas. “Agar kita tidak terkurung sang cakrawala pandang kita sendiri,” istilah Amartya Sen di akhir bukunya.
Harry Isra M.
*) Anggota LAW serta Mahasiswa Sastra Universitas Hasanuddin
Dikutip berdasarkan Koran tempo 13 april 2018