KARENA GURU HONOR JUGA MANUSIA


 “Terpujilah wahai kamu bunda bapakguru. Namamu akan selalu hidup dalamsanubariku. Semua baktimu akan kuukir di pada hatiku. Sebagai prasasti terimakasihku tuk pengabdianmu. Engkau menjadi pelita dalam kegelapan. Engkaulaksana embun penyejuk pada kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa,Pembangun Insan Cendekia” (Hymne Pengajar).

Tidak ada lagi lirik ‘Pahlawanbangsa tanpa pertanda jasa’ pada hymne pengajar. Perubahan lirik baris terakhir darilagu gubahan Pak Sartono ini atas rekomendasi beberapa pihak hingga dikuatkandengan beredarnya surat berdasarkan Pengurus Besar PGRI angka 447/Um/PB/XIX/2007 padatanggal 27 November 2018. Gelar ‘pahlawan tanpa pertanda jasa’ yang disematkankepada pengajar dianggap bisa sebagai argumen untuk nir mengapresiasi guru danmemperhatikan kesejahteraannya dengan dalih keikhlashan dan pengabdian seorangguru. Namanya jua pahlawan tanpa tanda jasa.

Terlepas menurut paradoksal makna menurut‘pahlawan tanpa indikasi jasa’ yg sejatinya justru menampakan betapa besarnyajasa seorang pengajar, perubahan redaksional ini tidak poly memberi dampak.perseteruan pengajar yang tidak jauh-jauh menurut kesejahteraan, kualitas, danpemerataan nir kunjung membaik. Malahan tidak sedikit pihak yg justrumerespon negatif. Banyak guru yg dipercaya sudah kehilangan idealismepengabdiannya, menurut ‘tidak mengharap tanda jasa’ menjadi ‘mengharap balas jasa’bahkan ‘membuka layanan jasa’. Mulai menurut jualan kitab , jasa les tambahan hinggamenjadi broker dalam penerimaan murid baru.

Guru Honor, Gaji Horor
Bagi pemerintah, besarnya anggaran pendidikan perlu ditunjang dengan berbagaiprogram yang gampang terukur serta efektif dalam menyerap anggaran, pada antaranyaadalah aneka macam acara beasiswa, bantuan pendidikan, hingga training dansertifikasi guru. Besarnya tunjangan tunjangan profesi menjadi angin segar bagisejumlah pengajar, khususnya pengajar PNS. Bagaimana tidak, pada DKI Jakarta saja gajiguru tersertifikasi homogen-homogen 12 juta rupiah, bahkan honor pengajar pada wilayah denganAPBD tinggi misalnya pada Kalimantan Timur mampu mencapai 15 juta rupiah. Tiba-tibabanyak yg berbondong-bondong ingin sebagai guru. Profesi guru diminati,tetapi bukan lantaran dihormati. Bahkan tidak jarang terdapat yg bersedia membayarjutaan atau puluhan juta buat diterima menjadi pengajar PNS.

Potret ‘Guru Oemar Bakri’nya IwanFals seolah hilang sudah. Sayangnya, peningkatan kesejahteraan ini tidakberbanding lulus menggunakan kualitas guru. Berbagai penelitian, termasuk data dariWorld Bank memberitahuakn bahwa tunjangan sertifikasi pengajar pada Indonesia tidaksignifikan dalam menaikkan kualitas pembelajaran di kelas. Bagaimana maumeningkatkan kualitas apabila tunjangan tunjangan profesi hanya mengubah gaya hidup gurusemakin konsumtif. Silakan ditinjau, berapa banyak guru yang berdiskusitentang riset, buku, perpustakaan atau ilmu pengetahuan. Materi dialog gurutelah berganti dengan perkara pencairan dana, honor , tunjangan, rekening,cicilan ataupun perihal keuangan lainnya.

Ironi tersebut kian diperparahketika potret pengajar honorer dipaparkan. Misalnya saja Nunung Nurhayati, gurusalah satu SDN pada Ciamis yg wajib nyambi jualan comro lantaran hanyadigaji Rp. 150 ribu per bulan pun sudah lebih menurut 11 tahun mengajar. Ada pulakisah lima orang guru madrasah honorer di daerah Babakan Madang – Bogor yanghanya digaji 90 ribu rupiah per bulan. Atau Asnat Bell, guru honorer SD GMITAmanuban Timur – NTT yg telah mengajar dari tahun 2018 tetapi hanya digaji 50ribu rupiah per bulan. Padahal secara kinerja, tidak sedikit pengajar honorer yanglebih disiplin, gigih serta menjiwai kiprahnya menjadi seorang guru, menunjukkanperforma yang lebih baik dibandingkan menggunakan guru PNS yang sudah terdapat di zonanyaman. Padahal guru honorer jua insan.
Sejahtera dan Berkualitas, BukanMaterialistis
Kesenjangan yg semakin jelas antara guru PNS dengan guru honorer ini menjadipolemik. Proses pengajar honorer sebagai guru PNS tidaklah mudah, poly faktorselain kualitas serta kompetensi mengajar yg lebih menentukan. Menghapus guruhonorer juga tidak dan menghapus perkara, lantaran disinyalir terdapat sekitar1,4 juta guru honorer, disamping dua.925.676 pengajar yg berada di bawah Kemdikbuddan 762.222 guru di bawah Kementerian Agama. Apalagi para guru honorer inimenjangkau sampai ke pelosok desa dengan kinerja yg sanggup dibandingkan denganguru PNS. Mengangkat seluruh guru honorer menjadi pengajar PNS pula tidakrealistis, sanggup jebol aturan pendidikan yang ternyata sebagian besarnya sudahhabis untuk gaji dan belanja pegawai, bukan buat program pendidikan.sebagaimana tuntutan buruh serta karyawan outsourcing, tindakan daruratdan manusiawi yg masih mungkin dilakukan adalah menetapkan standar upahminimum guru honorer, pun belum akan tuntas merampungkan kompleksitaspermasalahan guru.

Sekedar pembanding, misalnya dikutipdari The Guardian, menurut 30 negara yg menjadi anggota OECD (Organisationfor Economic Co-operation and Development), Swiss adalah negara yangmemberikan upah pengajar terbesar, yaitu US$ 68.820 pertahun atau hampir Rp. 900juta (kurs: Rp 13.000/ US$), 24 kali lebih akbar dibandingkan Indonesia yanghanya menaruh honor pengajar sebesar US$ 2.830. Biaya hayati di Swiss memangtinggi, pendapatan per kapita Swiss pula 6 kali lebih tinggi dari Indonesia.tetapi upah pengajar di Swiss ini (dan hampir pada seluruh Negara dengan pendidikanterbaik pada dunia) lebih akbar menurut pendapatan per kapita negaranya. Sementaragaji pengajar di Indonesia hanya 31.55% dibandingkan pendapatan per kapitanya.dilihat menggunakan pendekatan apapun tetap saja kelewat rendah.

Solusi atas permasalahankesejahteraan, kualitas dan pemerataan guru memang seharusnya dilakukanterpisah, tetapi saling terkait. Perhatian akan salah satu konflik tersebuttetap krusial, tanpa konflik yg lain menjadi prasyarat. Perbaikankesejahteraan, peningkatan kualitas serta pemerataan pengajar wajib dilakukan secarasimultan. Dalam perkara pengajar honorer, perbaikan kesejahteraan wajib diarahkanuntuk memperkuat penyelesaian permasalahan yg lain. Membabi buta menuntutkesejahteraan dengan abai terhadap pemugaran kualitas pembelajaran hanyamenjauhkan guru berdasarkan idealisme pengabdian. Dengan rasio guru:siswa di Indonesiasebesar 1:16 yg bahkan lebih tinggi dari banyak sekali Negara termasuk Jepang danKorea, bukan nir mungkin ada efisiensi jumlah pengajar dengan kualitas mengajarsebagai tolok ukur. Sangat dimungkinkan jua prestasi dan kinerja menjadifaktor penentu perbaikan kesejahteraan guru. Pada akhirnya, kesejahteraan dankualitas guru akan seiring sejalan. Demikian jua halnya menggunakan masalahpemerataan pengajar.

Pemerintah selaku pemegang kebijakandan aturan tentu memegang porsi besar dalam solusi pertarungan guru honorer,tetapi guru honorer wajib jua sebagai bagian dari solusi. Polemik kesejahteraanguru honorer sejatinya merupakan tantangan bagi pengajar honorer terkait dirinya,orientasinya, hingga kompetensinya. Tidak sedikit yg menilai bahwa profesiguru honorer adalah profesi terpaksa, dan memperlihatkan minimnya kualitassehingga mau dibayar murah. Guru honorer harus sanggup memberitahuakn kelayakannyauntuk diapresiasi, jangan sekedar menuntut apresiasi. Kesejahteraan diperbaiki,kompetensi ditingkatkan, dan pembangunan pendidikan didorong buat lebih adildan merata. Bagaimanapun, guru adalah wajah pendidikan Indonesia, menyelesaikanpermasalahan pengajar akan poly berkontribusi terhadap terurainya benang kusutpendidikan Indonesia. Majunya pengajar, majunya pendidikan Indonesia.
Oleh: Purwo Udiutomo (Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa / purwoudiutomo.com)

Popular posts from this blog

Pembagian Persebaran Flora dan Fauna di Indonesia Terbaru

ADZAN IQOMAH DAN DOA SESUDAH ADZAN TERBARU

Mencari Keliling dan Luas Gabungan Dari Persegi Panjang dan Setengah Lingkaran Terbaru