Batu akik berkhasiat dijadikan Jimat Hukumnya Haram

Fenomena tren batu akik pada indonesia kian menggila. 99 berdasarkan 100 teman saya tercatat mengenakan batu akik pada jari jari mereka. Tidak hanya satu tapi bisa mencapai dua atau tiga biji cincin sekaligus dengan warna warni yg beragam juga.
Kalau ditanya, apa sih sebenarnya kegunaan atau khasiat batu yang mereka pakai. Rata-homogen memang menjawab tidak hanya karena estetika batu melainkan banyak diantara mereka yang percaya akan kekuatan oleh batu tadi. Ada yg pungkasnya berguna menolak bencana, ada yang menjadi penangkal penyakit. Ada yg dipakai untuk menambah kewibawaan, ada jua yg dipakai menjadi pengasih alias pelet agar lawan jenis tertarik.
Lantas bagaimana sebenarnya aturan memakai batu akik menggunakan niat atau pemikiran bahwa batu akik yg digunakan tersebut memiliki kegunaan eksklusif bagi si pemakai?

Perlu diketahui batu akik termasuk ke dalam keliru satu jenis jimat yg seringkali digunakan masyarakat indonesia dalam umumnya. Berikut ini diantaranya
  1. Batu Akik, Keris, Rajah, rantai babi, mustika, benda-benda bertuah, dll
  2. Jimat keberuntungan
  3. Jimat penghasilan
  4. Jimat penglaris dagangan
  5. Jimat kekuatan dan keberanian
  6. Jimat kebal senjata tajam
  7. Jimat proteksi diri
  8. Jimat proteksi tunggangan dan rumah
  9. Jimat kecintaan

Bagaimana Hukum Jimat/batu akik pada Islam?

Ketahuilah, mengenakan jimat dan mempercayainya bisa memberikan manfaat atau melindungi menurut bahaya serta menolak bencana’(seperti kasus sahabat aku pada atas) merupakan syirik besar yg mengakibatkan pelakunya murtad, keluar berdasarkan Islam. Adapun mengenakan jimat serta meyakini Allah ta’ala yg memberikan manfaat atau melindungi dari bahaya serta menolak bala’, sedang jimat itu hanya menjadi karena merupakan syirik kecil, termasuk dosa besar yg membinasakan.

Mempercayai jimat termasuk syirik akbar lantaran dalam keyakinan tadi terkandung makna syirik, yaitu penyamaan antara Allah ta’ala dengan makhluk pada perkara yg merupakan kekhususan bagi Allah ta’ala, pada hal ini merupakan menaruh manfaat, melindungi dari bahaya dan menolak bala’.

Dalil-dalil Umum Pengharaman Jimat

Allah ta’ala menegaskan,

قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ

“Ibrahim mengungkapkan: “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang nir bisa memberi manfaat sedikit pun dan tidak (jua) memberi mudarat kepada kamu?”  [Al-Anbiya’: 66]

Juga firman-Nya,

قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً

“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap sesembahan selain Allah, maka mereka nir akan memiliki kekuasaan buat menghilangkan bahaya berdasarkan padamu serta tidak pula memindahkannya.” [Al-Isra’: 56]

Juga firman-Nya,

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku mengenai apa yang engkau seru selain Allah, apabila Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya lah bertawakal orang-orang yg berserah diri.” [Az-Zumar: 38]

Ayat-ayat di atas semuanya menerangkan bahwa hanya Allah ta’ala yang bisa menaruh manfaat serta menimpakan bahaya, maka hal itu adalah sifat rububiyah Allah ta’ala yg wajib diyakini sang setiap hamba, sehingga bila seseorang meyakini hal itu ada dalam selain-Nya seperti dalam malaikat, nabi, wali, jin dan jimat-jimat maka berarti beliau sudah menyekutukan Allah tabaraka wa ta’ala.

Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah mengungkapkan,

 “Semua makhluk yang disembah tadi tidak sedikitpun mempunyai kemampuan dalam memilih perkara (manfaat maupun mudarat). Dan pada sini, Ibnu Abi Hatim mengungkapkan hadits Qois bin Al-Hajjaj, berdasarkan Hanasy As-Shon’ani, berdasarkan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Jagalah (ketentuan-ketentuan) Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya selalu berada pada depanmu (menolongmu). Kenali Allah pada kelapangan niscaya Dia akan mengenalmu (menolongmu) dalam kesusahan. Apabila kamu meminta maka mintalah pada Allah, serta apabila kamu memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah.

Dan ketahuilah, andaikata semua umat bersatu buat menimpakan suatu bahaya kepadamu yg nir Allah tentukan menimpamu maka mereka nir akan sanggup melakukannya. Dan andaikan mereka bersatu buat memberikan suatu manfaat kepadamu yang tidak Allah ta’ala tentukan untukmu maka mereka nir akan mampu melakukannya. Telah kemarau catatan-catatan (takdir) dan pena-pena telah diangkat.

Dan lakukanlah amalan hanya bagi Allah menggunakan kesyukuran dalam keyakinan. Dan ketahuilah, kesabaran atas sesuatu yg kamu benci adalah kebaikan yg banyak, dan pertolongan itu selalu bersama kesabaran, kelapangan beserta kesusahan, dan beserta kesulitan itu ada kemudahan”[1].” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/100]

Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah menyampaikan,

فهذه الآية وأمثالها تبطل تعلق القلب بغير الله فى جلب أو دفع ضر وأن ذلك شرك بالله

“Ayat ini dan ayat-ayat yang semisalnya membatilkan ketergantungan hati kepada selain Allah ta’ala dalam meraih kemanfaatan atau menolak kemudaratan, serta bahwasannya hal itu termasuk syirik pada Allah ta’ala.” [Fathul Majid, hal. 111]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengungkapkan,

والشاهد من هذه الآية أن هذه الأصنام لا تنفع أصحابها لا بجلب نفع ولا بدفع ضر فليست أسبابا لذلك فيقاس عليها كل ما ليس بسبب شرعي أو قدري فيعتبر اتخاذه سببا إشراكا بالله

“Dan syahid dari ayat ini adalah bahwa patung-patung yg mereka sembah itu nir sedikitpun sanggup memberi manfaat pada para penyembahnya; tidak sanggup mendatangkan manfaat serta nir jua sanggup menolak mudarat. Jadi, patung-patung itu bukanlah karena-karena untuk mendatangkan manfaat serta menolak mudarat, maka dikiaskan pada atasnya seluruh yang bukan karena syar’i serta qodari, menjadikannya menjadi karena merupakan perbuatan menyekutukan Allah ta’ala.” [Al-Qoulul Mufid, 1/168]

[FAIDAH PENTING DALAM MASALAH “SEBAB”]

Penjelasan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di atas merupakan kaidah krusial pada tahu tauhid dan syirik. Bahwa tauhid adalah bergantung sepenuhnya pada Allah ta’ala, sedangkan mengambil sebab buat meraih suatu kemanfaatan serta menolak kemudaratan nir dilarang pada Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi menggunakan syarat, karena tadi merupakan karena syar’i atau sebab qodari.

Sebab syar’i maksudnya adalah sebab yg dijelaskan oleh dalil syar’i. Contohnya, membaca surat Al-Fatihah buat orang sakit merupakan karena kesembuhannya.

Adapun yang dimaksud dengan sebab qodari adalah karena yg Allah ta’ala ciptakan menjadi sebab di alam ini serta bisa diketahui dengan dua cara: Pertama, menggunakan dalil syar’i dan Kedua, dengan penelitian ilmiah dan percobaan.

Contoh yg dapat diketahui menggunakan dalil syar’i, seperti madu, habbatus sauda’, kencing unta buat obat sakit perut, bekam serta lain-lain merupakan sebab-karena kesembuhan.

Contoh yang dapat diketahui dengan penelitian ilmiah serta percobaan, seperti umumnya obat-obat antibiotik kedokteran terkini yg merupakan sebab buat menekan atau menghentikan perkembangan bakteri atau mikroorganisme berbahaya yg berada di pada tubuh.

Maka menjadikan sesuatu menjadi karena, padahal ia bukanlah karena syar’i dan bukan jua sebab qodari adalah perbuatan syirik. Contohnya sangat poly sekali, misalnya perbuatan sebagian orang yg merogoh batu-batuan pada kuburan orang shalih, rabat kiswah penutup ka’bah dan benda-benda lainnya buat dijadikan jimat adalah termasuk perbuatan menyekutukan Allah ta’ala. Karena benda-benda tadi bukanlah sebab syari’i maupun qodari.

Kesyirikan di sini pun bertingkat, mampu jadi syirik besar dan mampu jadi syirik mini . Syirik akbar bila seorang meyakini bahwa jimat bisa melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tadi. Dan syirik kecil jika dia meyakini jimat itu hanyalah karena, sedang Allah ta’ala Dialah yang melindunginya berdasarkan bahaya atau menghilangkan bahaya tadi, karena apabila seseorang meyakini sesuatu sebagai karena padahal Allah ta’ala tidak menetapkannya menjadi karena, baik syar’i maupun qodari, maka seakan-akan beliau sudah menyamakan dirinya dengan Allah ta’ala dalam menentukan sesuatu sebagai sebab.

Dan insan dalam kasus karena terbagi sebagai tiga golongan:

Pertama: Mereka yg menafikan sebab, mereka adalah orang-orang yg menafikan sifat nasihat Allah ta’ala, misalnya kelompok Al-Jabriyah dan Al-Asy’ariyah.

Kedua: Mereka yang berlebih-lebihan pada tetapkan karena sampai mereka jadikan yang bukan sebab sebagai sebab, mereka merupakan kebanyakan penganut khurafat dari kalangan Shufiyah serta yg semisalnya.

Ketiga: Mereka yang mempercayai adanya karena-karena yang mempunyai pengaruh menggunakan biar Allah ta’ala, akan namun mereka tidak tetapkan sesuatu menjadi sebab kecuali ditetapkan oleh Allah ta’ala, apakah sebab syar’i atau qodari. Inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

[Lihat Al-Qoulul Mufid, 1/164-165]

Dalil-dalil Khusus Pengharaman Jimat/batu akik

Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu menuturkan,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ إِلَيْهِ رَهْطٌ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ وَاحِدٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ بَايَعْتَ تِسْعَةً وَتَرَكْتَ هَذَا قَالَ إِنَّ عَلَيْهِ تَمِيمَةً فَأَدْخَلَ يَدَهُ فَقَطَعَهَافَبَايَعَهُ وَقَالَ مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Bahwasannya telah datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sepuluh orang (buat melakukan bai’at), maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang. Maka mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau membai’at sembilan serta meninggalkan satu orang ini?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia mengenakan jimat.” Maka orang itu memasukkan tangannya serta memotong jimat tersebut, barulah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membai’atnya dan beliau bersabda, “Barangsiapa yg mengenakan jimat maka dia telah menyekutukan Allah”.” [HR. Ahmad, no. 17422. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya kuat,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 492]

Dalam riwayat lain, Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu mengatakan, saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

“Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala nir akan menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yg mengenakan wada’ah (jimat batu pantai) maka Allah ta’ala nir akan memberikan kenyamanan kepadanya.” [HR. Ahmad, no. 17404. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hadits hasan.”]

Sahabat yang mulia Imron bin Al-Hushain radhiyallahu’anhu menuturkan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ وَيْحَكَ مَا هَذِهِ قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا

“Bahwasannya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melihat pada tangan seorang laki-laki terdapat gelang berdasarkan tembaga, maka dia mengatakan, “Celaka engkau , apa ini?” Orang itu berkata, “Untuk menangkal penyakit yg dapat menimpa tangan.” Beliau bersabda, “Ketahuilah, benda itu tidak menambah apapun kepadamu kecuali kelemahan, keluarkanlah benda itu darimu, karena sesungguhnya jika kamu mati serta benda itu masih bersamamu maka engkau nir akan beruntung selama-lamanya”[2].” [HR. Ahmad, no. 20180]

Sahabat yang mulia Abu Basyir Al-Anshori radhiyallahu’anhu mengungkapkan,

أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ قَالَ عَبْدُ اللهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ وَالنَّاسُ فِي مَبِيتِهِمْ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَسُولاً أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ

“Bahwasannya beliau pernah beserta Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada keliru satu bepergian dia –mengatakan Abdullah (rawi): Aku menerka beliau mengatakan-, saat itu insan berada dalam tempat bermalam mereka, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus seorang buat membicarakan, “Janganlah tertinggal pada leher hewan tunggangan sebuah kalung berdasarkan busur panah atau kalung apa saja kecuali diputuskan”.” [HR. Al-Bukhari no. 3005 dan Muslim no. 5671]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqoloni Asy-Syafi’i rahimahullah mengungkapkan diantara penerangan ulama terhadap hadits pada atas,

أنهم كانوا يقلدون الإبل أوتار القسي لئلا تصيبها العين بزعمهم فأمروا بقطعها اعلاما بأن الأوتار لا ترد من أمر الله شيئا وهذا قول مالك قلت وقع ذلك متصلا بالحديث من كلامه في الموطأ وعند مسلم وأبي داود وغيرهما قال مالك أرى أن ذلك من أجل العين ويؤيده حديث عقبة بن عامر رفعه من علق تميمة فلا أتم الله له أخرجه أبو داود أيضا

“Bahwasannya pada zaman Jahiliyah dahulu mereka memakaikan kalung-kalung bususr panah keras terhadap onta mereka agar tidak terkena penyakit ‘ain menurut sangkaan mereka. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan mereka buat tetapkan kalung-kalung tadi menjadi pedagogi kepada mereka bahwa jimat-jimat itu tidak sedikitpun dapat menolak ketentuan Allah ta’ala. Ini merupakan pendapat Al-Imam Malik rahimahullah tentang makna hadits ini.

Aku (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, pendapat tadi dia sebutkan setelah meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al-Muwathho’, jua disebutkan sang Muslim, Abu Daud dan selainnya. Malik menyampaikan, “Menurutku mereka menggunakan jimat itu untuk menangkal penyakit ‘ain.” Dan yang mendukung makna tadi adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang bergantung pada jimat maka Allah ta’ala nir akan menyempurnakan urusannya.”Juga diriwayatkan sang Abu Daud.” [Fathul Bari, 6/142]

Sahabat yang mulia Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu’anhu menyampaikan, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadaku,

يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ

“Wahai Ruwaifi’, bisa jadi engkau akan hayati lama sepeninggalku, maka kabarkanlah pada insan, bahwasannya siapa yang mengikat jenggotnya, atau memakai kalung (jimat) menurut busur panah, atau beristinja dengan kotoran hewan atau tulang, maka Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam- berlepas diri darinya.” [HR. Abu Daud, no. 36, Shahih Abi Daud, no. 27]

Sahabat yg mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya mantra-mantra, jimat-jimat serta pelet itu syirik.” [HR. Ahmad, no. 3615, Abu Daud no. 1776, 3883 dan Ibnu Majah, no. 3530. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Shahih lighairihi,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 2854]

Sahabat yang mulia Abu Ma’bad Abdullah bin ‘Ukaim Al-Juhani radhiyallahu’anhu menyampaikan, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

“Barangsiapa yg bergantung pada sesuatu (makhluk seperti jimat serta yang lainnya) maka dia akan dibiarkan bersandar pada makhluk tersebut (tidak ditolong sang Allah ta’ala).” [HR. Ahmad, no. 18781, 18786 dan At-Tirmidzi, no. 2018. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hasan ligairihi,” dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ghayatul Marom, no. 297]

Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah menyampaikan,

التعلق يكون بالقلب ويكون بالفعل ويكون بهما وكل إليه أي وكله الله إلى ذلك الشئ الذي تعلقه فمن تعلق بالله وأنزل حوائجه إليه والتجأ إليه وفوض أمره إليه وكفاه وقرب إليه كل بعيد ويسر له كل عسير ومن تعلق بغيره أو سكن إلى رأيه وعقله ودوائه وتمائمه ونحو ذلك وكله الله إلى ذلك وخذله وهذا معروف بالنصوص والتجارب قال تعالى ومن يتوكل على الله فهو حسبه

“Bergantung kepada sesuatu itu sanggup jadi dengan hati, sanggup juga menggunakan perbuatan dan bisa pula menggunakan hati serta perbuatan sekaligus. Allah ta’ala berakibat pelakunya bergantung pada sesuatu tersebut, maksudnya adalah Allah ta’ala jadikan dia bergantung pada sesuatu yg dia jadikan menjadi tempat bergantung.

Maka barangsiapa yang bergantung pada Allah ta’ala, memohon hajat-hajatnya pada-Nya, bersandar pada-Nya, memasrahkan urusannya pada-Nya pasti Allah ta’ala akan mencukupinya, mendekatkan baginya setiap yg jauh, memudahkan baginya semua yg sulit.

Dan barangsiapa yang bergantung kepada selain-Nya atau lebih damai (waktu bersandar) pada pendapatnya, akalnya, obatnya, jimat-jimatnya serta yang semisalnya maka Allah ta’ala jadikan beliau bergantung pada makhluk-makhluk tadi dan Allah ta’ala menghinakannya. Dan ini sudah dimaklumi menurut dalil-dalil dan kenyataan. Allah ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka cukuplah Allah menjadi penolongnya.” [Ath-Tholaq: 3].” [Fathul Majid, hal. 124]

Jadi pada dasarnya disini adala mindset atau pikiran anda saat memakai batu akik tadi. Bisa aku rangkum sbb

1. Jika anda percaya batu akik yang anda gunakan berguna (hukumnya haram)
2. Apabila anda percaya batu akik yang anda pakai berkhasiat atas biar allah( hukumnya halal)

Jadi perbedaanya tipis sekali. Dan disini banyak orang-orang yg terjebak 1000 persen mempercayai khasiat batu akik tanpa berpijak pada Allah swt.

Popular posts from this blog

Pembagian Persebaran Flora dan Fauna di Indonesia Terbaru

Contoh Soal PG Pendidikan Agama Islam PAI Kelas XI Semester 1 K13 Beserta Jawaban Part3 Terbaru

INILAH CONTOH ISIAN CATATAN FAKTA PKG 14 KOMPETENSI