BEBERAPA FAKTOR KETIDAKLULUSAN SISWA
Pengumuman output Ujian Nasional (UN) SMP yangdilaksanakan Sabtu 14 Juni 2018, mengingatkan pulang suasana pengumuman hasilUN SMA/MA yang terlebih dulu dilaksanakan. Saat itu, beberapa pengajar langsungmenangis begitu kepala sekolah membicarakan beberapa murid nir lulus.sedih telah pasti, lebih menyakitkan saat beberapa siswa tidak lulusmerupakan murid berperilaku baik, meskipun dalam hal kognitif berada agak dibawah anak didik lain.
Sebagai guru, ketidaklulusan anak didik merupakan tamparan keras serta menyakitkan,mengingat hal tersebut akan dikaitkan dengan kinerja pengajar. Kritikan boleh dansah dilontarkan kepada guru ataupun sekolah, tetapi harus dipahami banyakfaktor penyebab ketidaklulusan murid, misalnya, rendahnya motivasi belajar.artinya, bukan berarti gurunya yang tidak becus. Sebaik apa pun guru dalammemberikan pelajaran, apabila motivasi anak didik rendah maka pembelajaran yangdilaksanakan nir akan ada ialah.
Dari banyak alasan penyebab rendahnya motivasi belajar siswa, informasi bahwa tahunsebelumnya kelulusan saudara tertua taraf hampir selalu seratus %. Padahal,taraf belajar rendah serta perilaku pun tidak mampu dibilang baik. Hal ini menjadipandangan negatif bagi adik taraf, lantaran mereka beranggapan bahwa denganatau tidak belajar, dengan atau tidak bersikap baik, mereka tetap akan lulusdengan mudah.
Harus lebih arif melihat ketidaklulusan murid karena pada samping dampak negatifyang disebabkan, sebenarnya terdapat juga imbas positifnya terutama bagi adiktingkat. Dengan adanya murid yang tidak lulus apalagi jumlahnya relatif poly,tentu akan menimbulkan dorongan serta motivasi lebih tinggi bagi adik tingkatdalam mengikuti pembelajaran. Lantaran, pandangan yg selama ini tertanam, tidakbelajar dan bersikap kurang baik tetap lulus, telah terpatahkan.
Sebagai guru, ketidaklulusan anak didik merupakan tamparan keras serta menyakitkan,mengingat hal tersebut akan dikaitkan dengan kinerja pengajar. Kritikan boleh dansah dilontarkan kepada guru ataupun sekolah, tetapi harus dipahami banyakfaktor penyebab ketidaklulusan murid, misalnya, rendahnya motivasi belajar.artinya, bukan berarti gurunya yang tidak becus. Sebaik apa pun guru dalammemberikan pelajaran, apabila motivasi anak didik rendah maka pembelajaran yangdilaksanakan nir akan ada ialah.
Dari banyak alasan penyebab rendahnya motivasi belajar siswa, informasi bahwa tahunsebelumnya kelulusan saudara tertua taraf hampir selalu seratus %. Padahal,taraf belajar rendah serta perilaku pun tidak mampu dibilang baik. Hal ini menjadipandangan negatif bagi adik taraf, lantaran mereka beranggapan bahwa denganatau tidak belajar, dengan atau tidak bersikap baik, mereka tetap akan lulusdengan mudah.
Harus lebih arif melihat ketidaklulusan murid karena pada samping dampak negatifyang disebabkan, sebenarnya terdapat juga imbas positifnya terutama bagi adiktingkat. Dengan adanya murid yang tidak lulus apalagi jumlahnya relatif poly,tentu akan menimbulkan dorongan serta motivasi lebih tinggi bagi adik tingkatdalam mengikuti pembelajaran. Lantaran, pandangan yg selama ini tertanam, tidakbelajar dan bersikap kurang baik tetap lulus, telah terpatahkan.
Meski demikian, akan jauh lebih baik tentunya jika kelulusan seratus persenmemang output menurut belajar dan sikap baik. Tetapi, harus disadari bahwa lainsekolah, tentu lain jua perseteruan/penyebab ketidaklulusannya.
Selain motivasi siswa yang wajib mendapat perhatian, faktor kerja samaguru/sekolah, orang tua serta pemerintah sangat dibutuhkan buat menekantingginya nomor ketidaklulusan murid. Bagi pengajar ketidaklulusan anak didik seyogyanyamenjadi pelajaran berharga supaya nantinya sanggup lebih meningkatkan kualitas pembelajaran.
Guru harus lebih intensif pada menaruh bimbingan. Siswa yg dianggapmempunyai kesulitan belajar wajib mendapat perhatian lebih, sehingga dapatmengatasi kesulitan belajarnya.
Sekolah wajib berani membuat kebijakan yg “memaksa” anak didik buat selalumengikuti kegiatan pembelajaran tambahan yg diberikan. Jangan sampaipelajaran tambahan yg diberikan hanya dihadiri oleh beberapa murid, dansekolah tidak berani mengambil tindakan tegas.
Orangtua pula harus menaruh perhatian lebih pada kesiapan anak dalammenghadapi ujian nasional. Jangan hingga saat anaknya nir ikut les, orangtua membiarkan saja. Atau ketika pengajar ingin membicarakan kemajuan/kesulitanbelajar anak, enggan memenuhi undangan pengajar.
Pemerintah pada hal ini Dinas Pendidikan pula memegang peranan pentingpenyumbang kelulusan atau ketidaklulusan siswa. Dinas Pendidikan tentu memilikimapping sekolah mana saja yg patut mendapat perhatian lebih, terkaitketidaklulusan anak didik. Pengajar di sekolah berpotensi menyumbang ketidaklulusantinggi, wajib lebih sering diberikan pendidikan dan latihan (diklat), khususnyamata pelajaran yg dipercaya berpotensi besar menjadi menyumbang angkaketidaklulusan.
Jangan sampai diklat yang dilaksanakan hanya pada sekolah itu-itu saja, atauguru itu-itu saja sebagai akibatnya dalam akhirnya membuat guru lain seperti katak dalamtempurung, tidak memahami perkembangan. Khususnya sekolah pinggiran, ke depannyadiharapkan menerima perhatian spesifik menurut Dinas Pendidikan terkait diklat,sehingga mampu menekan angka ketidaklulusan yg tinggi.
Faktanya, ujian nasional memang poly mengakibatkan imbas negatif, meskipun halini nir dan merta harus ditiadakan. Ujian nasional perlu, namun denganbeberapa pemugaran. Misalnya, nir menggunakannya sebagai dasar kelulusansiswa.
Salah satu efek negatif ujian nasional adalah guru dan sekolah hanya fokusdan intensif membelajarkan mata pelajaran yg diujikan dalam UN. Sedangkanmata pelajaran lain kurang mendapat perhatian. Hal ini berimbas pada siswayang menjadi kurang termotivasi buat mengikuti mata pelajaran lain, selainyang diujikan pada UN. Akumulasinya sekolah berubah menjadi mesin cetak yangharus mencetak siswa menurut baku yang disyaratkan tanpa mengindahkansisi humanisme.
Dulu pendidikan memang penekanan dalam konsep intellegence quotient (IQ), tetapisaat ini dunia pendidikan telah mengenal konsep multiple intelligences yangtidak hanya mengakui intelegensi seorang menurut satu kemampuan, melainkandelapan yaitu logical-mathematical, linguistic, musical, spatial,bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal dan naturalis. Delapanintelegensi ini mewadahi semua kemampuan manusia yang mampu saja lemah dalamsatu kemampuan tapi bertenaga dalam kemampuan yang lain.
Jika dikaitkan menggunakan ujian nasional yang hanya mewadahi aspek kognitif, makahal tersebut kentara adalah ketidakadilan potensi karena menilai insan hanyadari satu kemampuan.
Padahal, jika kita kaitkan menggunakan kurikulum 2018 yang menekankan pada penilaianakhlak/perilaku dan evaluasi otentik, maka ujian nasional kentara bertentangan.seharusnya menggunakan diterapkannya kurikulum 2018, maka ujian nasional nir lagimenjadi dasar kelulusan murid. Lebih tepatnya “hanya” sebagai pemetaan kualitasantarsekolah, antarkabupaten, juga antarprovinsi.
Jika mau amanah, sekolah yg meluluskan siswanya seratus persen sebenarnyatidak menerangkan kualitas sekolah sangat baik atau baik. Hal ini disebabkankelulusan tadi bisa saja karena “dongkrakan” nilai sekolah yang sangattinggi. Padahal, jika kita cermati nilai ujian nasionalnya tidak jauh berbedadengan sekolah yang siswanya banyak nir lulus.
Hal inilah yang seharusnya menciptakan pemerintah dalam hal ini DepartemenPendidikan Nasional insyaf bahwa ujian nasional tidak sempurna dipakai sebagaidasar kelulusan murid, lantaran berpotensi menyebabkan kecurangan. Ujian nasionalsebagai pemetaan kualitas antarsekolah adalah solusi, lantaran logikanyakelulusan nir sanggup dipengaruhi dalam tiga hari. Selain itu, pendidikan harusmenghargai seluruh kemampuan murid, bukan satu kemampuan semata.(//banjarmasin.tribunnews.com)
Oleh: M Syamsuri MPd
Guru SMAN 2 Kintap, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta(UNY)