Fakta dan Data Daeng Soetigna sang Penemu Angklung

Hari ini lepas 13 mei 2018, google doodle secara khas memperingati hari lahir seorang maestro musik asal indonesia, dialah Daeng Soetigna, oleh penemu alat musik dari bambu, angklung. Nama daeng soetigna mengingatkan kita pada nama yg umumnya dipakai oleh suku bugis yg berada di makasar sulawesi. Namun dalam faktanya, Daeng Soetigna sama sekali tidak memiliki garis keturunan bugis.
Pak Daeng Soetigna Lahir pada Pameungpreuk, Garut Jawa barat dalam lepas 13 Mei 1908.  Kedua orang tuanya merupakan bangsawan Sunda. Ia lahir menggunakan nama lengkap lengkap Mas Daeng Soetigna. Ayahnya bernama Mas Kartaatmadja, yg merupakan seorang guru. Dan ibunya bernama Nyi Raden Ratna Soerastri seseorang yang aktif bergelut pada bidang seni.

"Daeng Soetigna, Bapak Angklung Indonesia" (Foto: Situs Musik Angklung)
Asal usul mengapa daeng soetigna menggunakan nama daeng yg notabene merupakan karakteristik spesial suku bugis ceritanya begini; Ayahnya mempunyai seorang teman dari Makasar yg bergelar Daeng. Daeng dari Makassar ini sangat pandai . Ketika itu ibunya sedang mengandung serta ayahnya mengatakan bahwa, “Kalau anak yg dilahirkan laki-laki akan diberi nama Daeng, agar pandai misalnya sahabatnya itu”. Ketika ibunya sahih-sahih melahirkan bayi laki-laki , maka bayi itu diberi nama Daeng Sutigna; nama Daeng diambil berdasarkan nama seseorang teman ayahnya yang orang Makassar itu.
Google menilai daeng soetigna ini amat berjasa bagi humanisme, sampai pada google doodle menampilkan grafis spesifik daeng soetigna.

Pendidikan dan masa kecil
Karena kedua orang tuanya termasuk bangsawan Sunda, Pak Daeng beruntung bisa menikmati pendidikan zaman Belanda yg saat itu masih sangat terbatas bagi pribumi. Sekolah yg sempat beliau enyam adalah:
  • HIS Garut (tahun 1915 - 1921), menjadi murind angkatan kedua.
  • Sekolah Raja (Kweekschool) Bandung (tahun 1922). Tahun 1923 Kweekscholl diubah namanya sebagai HIK (Hollands Islandsche Kweekschool). Daeng akhirnya lulus tahun 1928.

Setelah lulus HIK, Daeng langsung menjadi pengajar. Nantinya pada umur 45 tahun, Pak Daeng menngikuti beberapa pendidikan lanjut:
  • Tahun 1954, Pak Daeng ikut kursus B-1 (setara D-3), dan berhasil lulus ujian akhir. Namun Pak Daeng nir menerima ijazah Diploma, karena berdasarkan panitia dia nir berhak.
  • Tahun 1955, dikirim bersekolah di Teacher's College Australia sebagai salah satu kontingen pada acara Colombo Plan.

Setelah menyelsaikan pendidikan di atas daeng lalu sebagai seseorang pengajar. Pertama kali mengajar pada Cianjur kemudian ke Kuningan mengajar HIS. Daeng mengajar menyanyi serta olahraga buat seluruh kelas. Dia juga mengajar Ilmu Bumi dan menggambar buat kelas IV ke atas. Di luar kelas dia memndirikan serta membina kepanduan. 

Pada saat membina kepanduan ini Daeng (dia lebih karib dipanggil Encle) memperkenalkan angklung dan band harmonika pada para pandu. Di rumahnya beliau juga melatih Band Mandolin. Tetapi dia sendiri menerima wangsit bermain angklung berdasarkan seorang pengemis yg datang ke rumahnya membawa angklung buncis dalam tahun 1930-an. Dia lalu membeli angklung itu dan belajar dari pengemis itu. 

Daeng terus belajar, dia bertemu seorang bernama Djaja belajar mencari bunyi dari bambu. Berkat keuletannya Daeng menyusun not balok. Dia mampu menciptakan angklung yg bertangga nada diatonis. Bekalnya membuat angklung diatonis berawal dari kepiawaiannya menguasai beberapa indera musik yg berasal berdasarkan Barat, seperti gitar serta jua piano. Pada 1938 itu Daeng bisa memainkan lagu-lagu Eropa menggunakan angklung. Pada 1948, Daeng pindah ke Bandung dan sebagai ketua sekolah Sekolah Dasar, dan diperbantukan pada Jawatan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. 
Dua tahun kemudian beliau sebagai penilik sekolah dan diperbantukan pada kursus-kursus pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Keterampilannya memainkan angklung ditunjukkannya dalam 12 November 1946 dalam perundingan Linggarjati di depan tamu mancanegara. Daeng Soetigna beserta rombongannya diundang ke istana, yg menjemputnya Sutan Syahrir. Soekarno terkesan serta mengunjungi Kuningan. 

Sejak itu Daeng serta rombongannya kerap tampil di upacara kenegaraan. Daeng pula pernah menunjukkan kemampuannya bermain angklung ketika dia menyelesaikan lagu kreasi Johan Strauss “An Der Schonen Blauen Donau” pad Mei 1947 di Bandung. Daeng dan tim angklungnya ikut mengisi acara Konferensi Asia Afrika April 1955. Pada 1955 Daeng mendapatkan kesempatan belajar pada Australia pada rangka Colombo Plan. 

Daeng belajar 1/2 tahun di Sydney College namun ilmu yg diinginnya justru datang dari seseorang Rusia bernama Igor Hemelnitsky (1920-1987). Sekalipun orang ini tidak berkewarganegaraan, namun Igor ini sudah tersohor di New South Wales sebagai pakar serta pengajar musik. Pianis putra menurut musisi berasal Kiev, Rusia Alexander Hmelnitsky (1891-1965) ini yang mengakui bahwa angklung mampu sebagai alat musik tradisional yang sama pentingnya dengan alat musik lain.

Di jamannya (menjelang akhir tahun 1930-an) musik angklung tradisional Sunda nampaknya sudah menunjukkan gejala akan tersisihkan menjadi musik warga lantaran banyak sekali karena (terutama mungkin karena kala itu rakyat pendukungnya sudah kurang menyukai musik angklung, ditambah dengan mulai hilangnya upacara norma pertanian sakral menurut kepercayaan lama yang biasa memakai angklung menjadi indera pengiring utama, serta lagi gaya hidup rakyat kala itu yg bertambah moderen dan cenderung kurang menyukai/menghargai musik tradisional yang dipercaya berbau antik dan lebih senang mendengarkan musik Barat yg dianggap lebih moderen). Kemudian angklung tradisional Sunda yang telah usang mentradisi tersebut lambat-laun sebagai tersisihkan dan hanya sering dimainkan sang pengamen/pengemis yang keliling kampung saja.
Dalam keadaan misalnya itu Pa Deng (begitu panggilan akrabnya) pada tempat tinggal kediamannya di Kuningan pada suatu hari (dalam tahun 1938) kedatangan  dua pengamen angklung yg memainkan angklung tradisional Sunda/bernada pentatonis. Ketika mendengar musik angklung yang digemarinya hatinya tergetar serta tesentuh lalu menggunakan rasa iba beliau membeli angklung pentatonis tersebut.dalam dalam itu suara angklung yang merdu tetapi melankolis itu membuat hatinya terharu sekaligus risih mengingat nasib angklung yg kurang baik; dia menghawatirkan akan nasib angklung di lalu hari yang tak mustahil akan musna lantaran terpaan jaman yg tambah moderen. Tetapi dalam pada itu (menggunakan perasaan sedikit risau tetapi optimis) lalu dia pelajari angklung yg telah ia beli berdasarkan pengamen tersebut dengan seksama. 

Katanya ini foto bersama sehabis tampil pada Belanda buat pertama kalinya. Pak Daeng nomer 2 berdasarkan sebelah kanan yang di belakang.

Kemudian ada asa dan semangatnya dengan benar-benar-sungguh untuk mencoba melestarikannya angklung dengan cara beradaptasi terhadap situasi serta kondisi kala itu; muncul gagasan buat modernisasi angklung menggunakan mengembangkannya ke arah lain pada bentuk baru yg secara adaptif menyesuaikan menggunakan keadaan zaman. — Setelah bisa menciptakan angklung sendiri, dia berupaya menciptakan angklung bertangganada diatonis, menggunakan berbekal kepandaiannya pada memainkan beberapa alat musik berasal Barat, misalnya gitar dan piano, maka lalu terciptalah musik angklung diatonis.

Pada awalnya inspirasi baru ini kurang begitu menerima perhatian serta bahkan tak tidak mungkin ada ad interim pihak yg tidak/kurang setuju, tetapi pendiriannya tetap kukuh dan gigih buat terus menciptakan angklung bernada musik Barat (diatonis) tersebut, dengan cara diperkenalkan dan diajarkan dalam anak muridnya pada Sekolah (pada mulanya secara khusus dalam anak pramuka/pandu kala itu; sesudah dikenal di kalangan Pramuka menjadi indera musik yang menyenangkan, akhirnya permainan musik angklung diatonis bisa diterima dan lalu diajarkan di sekolah-sekolah).
ini merupakan foto daeng soetigna dengan istri dan anak di depan rumahnya.


Daeng Sutigna menduga angklung diatonis lebih komunikatif buat diajarkan pada anak-anak. Kalau angklung tradisional merupakan angklung renteng yang dimainkan oleh seorang saja, maka angklung yang dibuat olehnya dimainkan secara beserta, setiap orang memegang angklung yg membunyikan hanya satu nada saja, harmoni tercapai menggunakan kerjasama yang rapih.

Karier daeng soetigna

Setelah tamat dari HIS, Pak Daeng Soetigna menjadi guru.

  • Tahun 1928, menjadi guru pada Schakelschool Cianjur
  • Tahun 1931, menjadi guru HIS di Kuningan
  • Tahun 1942, seiring kedatangan Jepang, HIS diubah menjadi SR (Sekolah Rakyat), serta Pak Daeng diangkat menjadi ketua sekolah
  • Tahun 1945, setelah proklamasi berdirilah SMP Kuningan I pada mana sebagian gurunya diambil menurut SR, termasuk Pak Daeng.
  • Tahun 1948, Pak Daeng pindah ke Bandung dan sebagai ketua sekolah Sekolah Dasar, serta diperbantukan pada Jawatan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
  • Tahun 1950, sebagai penilik sekolah serta diperbantukan dalam kursus-kursus pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
  • Tahun 1956, sepulang menurut Australia Pak Daeng diangkat menjadi konsultan pedagogi seni bunyi pada SGA dua Bandung, SGA Kristen Jakarta, SGA 1 Jogjakarta, SGA Balige serta SGA Ambon.
  • Tahun 1957, menjabat sebagai Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat.
  • Tahun 1960, diangkat menjadi Kepala Konservatori Karawitan, Bandung.
  • Tahun 1964, Pak Daeng purna tugas berdasarkan pengabdiannya sebagai pegawai negeri sipil.
Masa Tua daeng soetigna

Pak Daeng pensiun sebagai pegawai negari sipil dalam tahun 1964 (saat berumur 56 tahun). Dengan bebasnya dia dari tugas rutin menjadi pegawai pemerintah, maka Pak Daeng aktif membuatkan angklung. Dia melatih di aneka macam kelompok angklung seperti Sekolah Dasar Soka, Sekolah Dasar Santo Yusup, dan Sekolah Dasar Priangan. Demikian juga perkumpulan mak -bunda Militer juga suster pada gereja RS Borromeus. Atas jasa-jasanya, pada masa tuanya inilah Pak Daeng mulai memperoleh berbagai penghargaan, termasuk SATYA LENCANA KEBUDAYAAN menurut Presiden RI.

Setelah pengabdiannya yg panjang pada mengangkat musik angklung menurut kelas pengemis ke kelas konser, Pak Daeng Soetigna wafat dalam lepas 8 April 1984, dan dikebumikan di Cikutra, Bandung.

Penghargaan

Penghargaan yg diberikan kepada Pak Daeng pada antaranya:

  • Piagam Penghargaan, atas Jasanya Dalam Bidang KesenianKhususnya dan Kebudayaan Pada Umumnya, dari Gubernur Jawa Barat Brigjed Mashudi, 28 Februari 1968.
  • Piagam Penghargaan, pada rangka mendorong pertumbuhan, pemekaran dan pengembangan keseniang angklung di ibukota, menurut Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, 10 September 1968.
  • Tanda Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan, berdasarkan Presiden Republik Indonesia, Jend. Soeharto, 15 Oktober 1968.
  • Piagam Penghargaan, atas jasa pada pembinaan serta pengembangan seni wilayah, khususnya seni Angklung, berdasarkan Gubernur Jawa Barat H.A. Kunaefi, 17 Agustus 1979.
Setelah meninggal, Pak Daeng masih terus menerima penghargaan, pada antaranya:

  • Piagam Penghargaan, menjadi perintis Pembangunan Pariwisata Jawa Barat, berdasarkan Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana, 18 Februari 1994.
  • Piagam Penghargaan, artis angklung yg telah berkreasi serta berkarya mengharumkan nama Jawa Barat di tingkat Nasional, berdasarkan Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, 21 Juli 2018.
  • Piagam Penghargaan dan Metronome Award 2018, menjadi pengembang musik tradisional Angklung, dari Pusat Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia, 21 Juli 2018.
  • Penghargaan Nasional Hak Kekayaan Intelektual 2018, Pencipta Angklung, Menteri Hukum serta Hak Asasi Republik Indonesia, Amir Syamsudin, 26 April 2018.



Popular posts from this blog

Pembagian Persebaran Flora dan Fauna di Indonesia Terbaru

ADZAN IQOMAH DAN DOA SESUDAH ADZAN TERBARU

Mencari Keliling dan Luas Gabungan Dari Persegi Panjang dan Setengah Lingkaran Terbaru