Faktor dan Sejarah Terbentuknya Slum Area Area Kumuh Kota
Pernahkah kalian melihat gugusan pemukiman kumuh pada pinggir
sungai/bawah rongga di bawah rumah jembatan atau tempat lain pada daerah perkotaan?Mengapa hal tersebut bisa terjadi?Tentunya hal ini berkaitan erat menggunakan interaksi desa dengan kota. Kota secara kasat mata menjadi daya tarik yg akbar bagi kaum-kaum di pinggiran. Banyak dari mereka yg terpesona buat pulang ke kota meski tanpa kapital keahlian apapun. Migrasi desa kota yg sifatnya massal, ditambah dengan pertumbuhan penduduk alami yang dimiliki kota itu sendiri, serta kesulitan pendatang buat menemukan pekerjaan yang mengklaim hidup berkecukupan, kesemuanya itu sudah melahirkan situasi miskinnya kebanyakan penghuni di kota. Mereka tidak terdapat uang buat mendirikan tempat tinggal tinggal sebagai akibatnya mereka terpaksa hayati di sembarang loka. Muncullah perkampungan yang berisi gubuk-gubuk menurut bahan kertas karton, tripleks, besi, kaleng, plastik dan sebagainya. Ada juga orang-orang yg terpaksa tidur pada los pasar, terminal bus, trotoar serta dibawah jembatan.
Setiap negara memiliki istilahnya sendiri buat perkampungan miskin yang serba liar itu serta pada Indonesia diklaim wilayah kumuh. Dalam bahasa geografi perkotaan pada umumnya lebih disukai istilah Bidonvilles (bahasa perancis) serta kadangkala disebut Shanty Towns pada bahasa Inggris.
Shanty town berasal dati Amerika Serikat pada dasawarsa 30an ketika krisis ekonomi mendorong munculnya kampung-kampung kaum miskin di berbagai kota di sana. Apabila terdapat saat ini, istilah slum lebih berarti "kampung jorok" yaitu bagian kota yang gedung-gedungnya telah tua serta ditinggal penghuninya sehingga tidak terawat dan kusam. Sebelum pemerintah membongkarnya untuk diganti menggunakan bangunan lain, gedung tersebut cepat didiami sang kaum miskin serta pada sana sekaligus menjadi pusat kriminal.
Juppenlatz seorang berkebangsaan Australia pernah melakukan riset terhadap kota di negara-negara berkembang serta hasilnya pertumbuhan tahunan jumlah penduduk slum area lebih tinggi menurut pertumbuhan penduduk kota yaitu diatas 6%.
Hal tersebutlah yang dinamakan urban catastrophe atau bala perkotaan. Mengapa kita kaget melihat kepincangan kota yang berupa pemukiman kumuh di negeri Indonesia?Karena orang Indonesia menganggap bahwa kota sebagai pusat kemajuan dan kesejahteraan tak layak memiliki tanda-tanda tersebut padahal kesengsaraan ini jua masih ada pada pedesaan. Dari sanalah mereka tergiring buat pulang ke kota menggunakan aneka macam asa dan impian yg semu. Masalah kemiskinan kota jelas tidak dapat dilepaskan dari kasus yang terjadi pada pedesaan.
Geograf Prancis George (1970) dalam menelaah kehidupan di Bidonvilles dan kerumitan permasalahannya menyimpulkan bahwa keterlambatan pemerintah pada banyak sekali negeri di global ketiga dalam menambah persediaan perumahan bagi pendatang baru di perkotaan, mengakibatkan sudah terjadinya perkembangan lanjut berdasarkan komplek bidonvilles. Di samping dampak meluasnya akibat negatif yakni kemiskinan penghuninya, ada jua kemajuan fisiknya, karena tidak seluruh orang yg masuk ke daerah tadi merupakan orang miskin. Pendatang yg memiliki pekerjaan permanen serta uang cukup pun ikut mendirikan rumah disana. Mereka sering mendidik serta memimpin kaum miskin untuk hayati teratur, sehingga lahir semacam perkampungan yang relatif normal.
Apabila pemecahan masalah bidonvilles hanya berupa pemindahan ke kompleks lain, dimana penghuni mendapatkan tanah baru buat mereka beli, hanya yang mampu saja yang bisa selamat, tulis George. Lagi pula di tempat baru para pekerja di sektor informal sebagai dijauhkan berdasarkan lokasi aktivitas mereka sehari-hari sebagai akibatnya mungkin menjadi penganggur serta lebih miskin lagi dibandingkan dengan semula. Pemecahan perkara bidonvilles dimana-mana memang tidak gampang.
Sumber serta Gambar:
Geografi Desa Kota. Daldjoeni.
Interaksi Desa Kota. Bintarto
disini
disini
sungai/bawah rongga di bawah rumah jembatan atau tempat lain pada daerah perkotaan?Mengapa hal tersebut bisa terjadi?Tentunya hal ini berkaitan erat menggunakan interaksi desa dengan kota. Kota secara kasat mata menjadi daya tarik yg akbar bagi kaum-kaum di pinggiran. Banyak dari mereka yg terpesona buat pulang ke kota meski tanpa kapital keahlian apapun. Migrasi desa kota yg sifatnya massal, ditambah dengan pertumbuhan penduduk alami yang dimiliki kota itu sendiri, serta kesulitan pendatang buat menemukan pekerjaan yang mengklaim hidup berkecukupan, kesemuanya itu sudah melahirkan situasi miskinnya kebanyakan penghuni di kota. Mereka tidak terdapat uang buat mendirikan tempat tinggal tinggal sebagai akibatnya mereka terpaksa hayati di sembarang loka. Muncullah perkampungan yang berisi gubuk-gubuk menurut bahan kertas karton, tripleks, besi, kaleng, plastik dan sebagainya. Ada juga orang-orang yg terpaksa tidur pada los pasar, terminal bus, trotoar serta dibawah jembatan.
Setiap negara memiliki istilahnya sendiri buat perkampungan miskin yang serba liar itu serta pada Indonesia diklaim wilayah kumuh. Dalam bahasa geografi perkotaan pada umumnya lebih disukai istilah Bidonvilles (bahasa perancis) serta kadangkala disebut Shanty Towns pada bahasa Inggris.
Shanty town berasal dati Amerika Serikat pada dasawarsa 30an ketika krisis ekonomi mendorong munculnya kampung-kampung kaum miskin di berbagai kota di sana. Apabila terdapat saat ini, istilah slum lebih berarti "kampung jorok" yaitu bagian kota yang gedung-gedungnya telah tua serta ditinggal penghuninya sehingga tidak terawat dan kusam. Sebelum pemerintah membongkarnya untuk diganti menggunakan bangunan lain, gedung tersebut cepat didiami sang kaum miskin serta pada sana sekaligus menjadi pusat kriminal.
Juppenlatz seorang berkebangsaan Australia pernah melakukan riset terhadap kota di negara-negara berkembang serta hasilnya pertumbuhan tahunan jumlah penduduk slum area lebih tinggi menurut pertumbuhan penduduk kota yaitu diatas 6%.
Hal tersebutlah yang dinamakan urban catastrophe atau bala perkotaan. Mengapa kita kaget melihat kepincangan kota yang berupa pemukiman kumuh di negeri Indonesia?Karena orang Indonesia menganggap bahwa kota sebagai pusat kemajuan dan kesejahteraan tak layak memiliki tanda-tanda tersebut padahal kesengsaraan ini jua masih ada pada pedesaan. Dari sanalah mereka tergiring buat pulang ke kota menggunakan aneka macam asa dan impian yg semu. Masalah kemiskinan kota jelas tidak dapat dilepaskan dari kasus yang terjadi pada pedesaan.
Geograf Prancis George (1970) dalam menelaah kehidupan di Bidonvilles dan kerumitan permasalahannya menyimpulkan bahwa keterlambatan pemerintah pada banyak sekali negeri di global ketiga dalam menambah persediaan perumahan bagi pendatang baru di perkotaan, mengakibatkan sudah terjadinya perkembangan lanjut berdasarkan komplek bidonvilles. Di samping dampak meluasnya akibat negatif yakni kemiskinan penghuninya, ada jua kemajuan fisiknya, karena tidak seluruh orang yg masuk ke daerah tadi merupakan orang miskin. Pendatang yg memiliki pekerjaan permanen serta uang cukup pun ikut mendirikan rumah disana. Mereka sering mendidik serta memimpin kaum miskin untuk hayati teratur, sehingga lahir semacam perkampungan yang relatif normal.
Apabila pemecahan masalah bidonvilles hanya berupa pemindahan ke kompleks lain, dimana penghuni mendapatkan tanah baru buat mereka beli, hanya yang mampu saja yang bisa selamat, tulis George. Lagi pula di tempat baru para pekerja di sektor informal sebagai dijauhkan berdasarkan lokasi aktivitas mereka sehari-hari sebagai akibatnya mungkin menjadi penganggur serta lebih miskin lagi dibandingkan dengan semula. Pemecahan perkara bidonvilles dimana-mana memang tidak gampang.
Sumber serta Gambar:
Geografi Desa Kota. Daldjoeni.
Interaksi Desa Kota. Bintarto
disini
disini
