Kisah kesaktian Pangeran diponegoro asal usul Keturunan dan Sejarah Lengkap
Baru baru ini pihak belanda mengembalikan beberapa benda pusaka milik pangeran diponegoro. Tokoh yg populer sakti dalam masa penjajahan belanda ini memang mempunyai beberapa alat serta benda pusaka. Yang dalam masa perang diponegoro, waktu beliau kalah sang belanda, beberapa benda bersejarah tersebut di boyong ole belanda ke negeri asalnya.
bagaimana sebenarnya kisah sejarah pangeran diponegoro, banyak sekali mitos cerita menurut mulut kemulut menggambarkan kesaktian oleh pangeran.
PANGERAN DIPONEGORO
Dor…dor…dor… terdengar letusan senjata tiga kali dari luar tembok. Ya, itu tanda perang dimulai. Sisi utara, timur dan selatan telah dikepung pasukan Kumpeni Belanda bersenjata lengkap. Laskar yg tinggal di sisi barat melakukan perlawanan keras. Korban berjatuhan menurut kedua belah pihak. Di bawah pimpinan Joyomustopo serta Joyoprawiro, laskar terdesak mundur. Kekuatan jauh tidak selaras. Laskar wong Jowo mengandalkan keahlian bertempur memakai senjata tradisional tombak dan keris, Pasukan Kumpeni Belanda menggunakan senjata api laras panjang Kareben.
Melihat laskar Jawa terdesak, datang-datang seseorang pria berjubah dengan sorban putih yang terlilit di kepalanya, menggunakan tenang matek ajian yang dimilikinya. Blar…..sebuah pukulan jeda jauh yang dahsyat menjebol tembok barat puri yang tebalnya lebih kurang satu meter. Mengendarai kuda putih, dia memberi komando agar laskar yang tersisa menentukan menjauh ke barat. Sebuah keputusan berat demi keselamatan laskar dan keluarganya. “Perang sesungguhnya baru saja akan dimulai” ujarnya dalam hati.
Itulah situasi dalam lepas 20 Juni 1825 di Yogyakarta ketika pasukan Belanda menyerang Puri Tegalrejo. Itu merupakan awal perang yang dikenal menggunakan nama Perang Diponegoro (1825 – 1830).
Pada masa itu Kerajaan Mataram Yogyakarta dipegang oleh Patih Danurejo bersama Para Reserse berdasarkan Pemerintahan Kolonial Belanda. Penyerangan Puri ini adalah menjadi buntut tuduhan pihak Belanda bahwa Pangeran Diponegoro akan memberontak. Itu sehabis Belanda menciptakan jalan yg menghubungkan Yogyakarta serta Magelang melewati puri laman tempat tinggal Beliau.
Belanda beralasan Pangeran Diponegoro memberontak sehingga mengepung kediaman beliau. Dengan kesaktiannya, Pangeran Diponegoro bersama keluarga dan pasukannya sanggup menyelamatkan diri menuju barat sampai Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan sampai datang pada Goa Selarong yg terletak lima kilometer arah barat menurut Kota Bantul.
Belanda yang nir berhasil menangkap Pangeran Diponegoro akhirnya melampiaskan kemarahannya menggunakan membakar habis puri Pangeran….
Pangeran Diponegoro, si manusia sakti mandraguna ini mempunyai nama mini Bendoro Raden Mas Ontowiryo, lahir pada Yogyakarta tanggal 11 Nopember 1785. Berbeda dengan anak kaum bangsawan, masa kecil dihabiskannya pada sebuah desa yang asri, pada Desa Tegalrejo sebelah barat Keraton Mataram. Sejak mini dia berkumpul menggunakan warga jelata dan menghayati religiusitasnya beserta para kawulo alit.
Itu sebabnya, pada hidupnya yg penuh usaha Pangeran Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan serta kesetaraan menggunakan warga , daripada bergelimang harta, tahta dan perempuan sebagaimana biasa yg terjadi pada kalangan famili istana. Meskipun tidak tinggal di Keraton, Sang Ayah mengetahui bahwa Raden Mas Ontowiryo mempunyai jiwa kepemimpinan yang kokoh bertenaga. Apalagi beliau gentur bertapa, memasak batin sehingga hidupya jejeg serta jejer, lurus dengan garis Sangkan Paraning Dumadi.
Sang ayah, Sultan Hamengku Buwono III akhirnya memutuskan mengangkatnya sebagai raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tapi apa tanggapan oleh pangeran? “Saya menolak. Biarlah yg lain saja bopo” ungkapnya dengan mimik tenang. Ya, Diponegoro menolak karena merasa bahwa ibunya bukan permaisuri serta hanya selir Sang Raja. Ibunya bernama Raden Ayu Mangkorowati, seseorang puteri Bupati Pacitan.
Situasi penjajahan kolonial Belanda saat itu memang menyebalkan. Sejak tahun 1820-an kompeni Belanda sudah mencampuri urusan kerajaan-kerajaan pada nusantara nir terkecuali Mataram, Yogyakarta. Peraturan rapikan tertib dibuat sang pemerintah Belanda yang sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Para bangsawan diadu domba. Tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil untuk perkebunan milik pengusaha-pengusaha Belanda. Rakyat yang mempergunakan jalan buat transportasi perdagangan dibebankan pajak yg tinggi.
Kesabaran Pangeran Diponegoro buat diam akhirnya berakhir saat pematokan dilaksanakan Belanda dalam sawah-sawah warga terlebih lagi melintasi kompleks pemakaman bekas leluhur para Raja Jawa. Saat itu Raja adalah Sri Sultan Hamengkubuwono V yg dinobatkan saat dia baru berumur 3 tahun.
Pemeritahan Kasultanan waktu itu tidak berdaya, karena ternyata kekuasaan yg sebenarnya terselubung dan berkoloberasi dengan Pemerintahan Kolonial. Pangeran Diponegoro akhirnya menyusun rencana buat melawan penjajahan biadab tersebut. Beliau mengajak Kyai Mojo seorang ulama Islam yg sekaligus guru spiritualnya yang pula pamannya. Kyai Mojo ini memiliki poly pengikut serta disegani, di antaranya Tumenggung Zees Pajang Mataram, Tumenggung Reksonegoro dan lain-lain.
Kharisma Diponegoro yg kuat sebagai daya tarik bagi para pemuda. Di antara pemoda yg siap buat sebagai tameng dada merupakan Sentot Prawirodirdjo. Sentot merupakan pemuda yang bagak. Ayahnya bernama Ronggo Prawirodirjo adalah ipar Sultan Hamengku Buwono IV. Sang Ayah Sentot ini pernah mengadakan pemberontakan melawan Belanda akan tetapi berhasil dibunuh oleh Gubernue Jendral Daendles. Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa harus balas dendam.
Setelah Tegalrejo jatuh ke pihak musuh pada tanggal 20 Juni 1825 itu, Pangeran Diponegoro membangung pusat pertahanan di Gua Selarong menggunakan strategi perang gerilya. Belanda kewalahan karena sulit menghancurkan kekuatan kecil-kecil yang hanya sesekali datang menyerang serta sesudah itu cepat menghilang. Senjata yg dipakai buat gerilya sangat beragam mulai menurut senjata perang tombak, keris, pedang, panah, “bandil” (semacam martil yang terbuat dari besi), “patrem” (senjata prajurit perempuan ), sampai “candrasa” (senjata tajam yang bentuknya mirip tusuk konde) yg biasa dipakai “telik sandi” (mata-mata) perempuan .
Dua senjata keramat semasa Perang Diponegoro adalah sebuah keris menggunakan lekukan 21 bernama Kyai Omyang, protesis seorang empu yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit serta pedang yg dari dari Kerajaan Demak. Kedua senjata tersebut mempunyai tenaga kesaktian yang hebat. Tetapi sayangnya, keris milik Pangeran Diponegoro justeru nir ada pada Indonesia dan hingga kini masih disimpan pada Belanda.
Di daerah gua, pangeran menempati goa sebelah barat yg dianggap Goa Kakung, yang pula sebagai tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yg paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri pada sebelah timur.
Di Goa putri ini ditemukan sejumlah alat tempat tinggal tangga yg terbuat menurut kuningan terdiri berdasarkan loka sirih dan “kecohan”-nya (loka mebuang ludah), loka “canting” (indera buat membatik), teko “bingsing”, bokor hingga banyak sekali bentuk “kacip” (indera membelah pinang buat makan sirih).
Perang Diponegoro yg oleh kalangan Belanda diklaim Java Oorlog (Perang Jawa), berlangsung hingga tahun 1830. Dalam perang ini, kerugian pihak Belanda tidak kurang menurut 15.000 tentara dan menghabiskan dana hingga 20 juta gulden. Beberapa tokoh perlawanan dibujuk sang Belanda sehingga mereka bersedia menghentikan peperangan. Dari tahun 1829 perlawanan semakin berkurang, akan tetapi masih berlanjut terus. Belanda mengumumkan akan memberi hadiah sebanyak 50.000 golden pada siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro.
Pasukan dan kekuatan Diponegoro melemah, tapi dia tidak pantang menyerah. Karena Belanda nir berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, kemudian Belanda menjalankan cara yang licik yaitu dengan cara mengundang Pangeran Diponegoro buat berunding di Magelang tanggal 28 Maret 1830. Itulah akhir usaha perang Sang Avatar menurut tanah Jawa. Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, kemudian dipindahkan ke Ujungpandang/Makasar.
Perang Diponegoro tercatat memakan korban luar biasa besar . Dipihak Belanda sebanyak 8.000 serdadu, 7.000 prajurit pribumi, dan 200.000 orang Jawa, sebagai akibatnya mengakibatkan penyusutan penduduk Jawa pada ketika itu.
Sementara itu Sentot Prawirodirdjo berhasil dibujuk Belanda, dan meletakkan senjata dalam tanggal 17 October 1829, dan beliau dikirim Belanda ke Sumatra Selatan buat melawan pembrontakan para ulama pada perang Paderi, lalu wafat pada Bengkulu pada tanggal 17 April 1855 pada usia 48 tahun.
Pangeran Diponegoro tewas dunia di benteng Rotterdam Ujungpandang, dalam tanggal 8 Januari 1855 serta dimakamkan disana. Kini bila kita berkunjung ke makam di Jalan Pangeran Diponegoro Kelurahan Melayu, Wajo, Makasar, kita akan mengelus dada. Makam pahlawan nasional ini tidak terawat dan berada di antara ruko-ruko yang semakin menjamur. Bangunan ruko-ruko yg berada di jalan tersebut nyaris menutup makam tersebut. Hanya sebuah bendera merah putih yang sanggup menandai adanya makam tadi.
Perawatan makam jua nir maksimal . Tiga orang pekerja yg menjaga makam ini hanya digaji Rp 15 ribu per minggu. Pemerintah Kota Makassar mengeluarkan donasi tiap bulannya Rp 200 ribu per bulan. Bantuan inipun baru terdapat dari tahun 2018.
KRONOLOGI SEJARAH PERANG DIPONEGORO
Diponegoro merupakan putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada lepas 11 November 1785 pada Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seseorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yg dari berdasarkan Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama mini Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari kedudukannya menjadi putra seorang selir, Diponegoro menolak hasrat ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III buat mengangkatnya sebagai raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sebagai akibatnya ia lebih senang tinggal pada Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro sebagai salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yg baru berusia tiga tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo beserta Residen Belanda. Cara perwalian misalnya itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat Perjuangan
Perang Diponegoro berawal waktu pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, dia memang telah muak dengan kelakuan Belanda yg nir menghargai norma istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi warga menggunakan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yg menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan warga . Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir menurut Tegalrejo, serta membuat markas di sebuah goa yg bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yg dikobarkan Diponegoro membawa impak luas sampai ke wilayah Pacitan serta Kedu. Salah seseorang tokoh kepercayaan pada Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung menggunakan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang berdasarkan 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda buat menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yg sanggup menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap dalam 1830.
Penangkapan dan pengasingan
* 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan kol Cleerens bertemu pada Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran serta pengikutnya berdiam dulu pada Menoreh sembari menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock berdasarkan Batavia.
* 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock pada Magelang. De Kock memaksa mengadakan negosiasi serta mendesak Diponegoro supaya menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Namun Belanda sudah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, lalu dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan pribadi ke Batavia menggunakan kapal Pollux dalam lima April.
* 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian menurut Gubernur Jenderal Van den Bosch.
* 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono serta istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
* 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado serta ditawan di benteng Amsterdam.
* 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam pada Makassar, Sulawesi Selatan.
* 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Setidaknya Pangeran Diponegoro memiliki 17 putra serta 5 orang putri, yg semuanya sekarang hayati tersebar pada seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku
NASAB PANGERAN DIPONEGORO
PANGERAN DIPONEGORO
Dor…dor…dor… terdengar letusan senjata tiga kali dari luar tembok. Ya, itu tanda perang dimulai. Sisi utara, timur dan selatan telah dikepung pasukan Kumpeni Belanda bersenjata lengkap. Laskar yg tinggal di sisi barat melakukan perlawanan keras. Korban berjatuhan menurut kedua belah pihak. Di bawah pimpinan Joyomustopo serta Joyoprawiro, laskar terdesak mundur. Kekuatan jauh tidak selaras. Laskar wong Jowo mengandalkan keahlian bertempur memakai senjata tradisional tombak dan keris, Pasukan Kumpeni Belanda menggunakan senjata api laras panjang Kareben.
Melihat laskar Jawa terdesak, datang-datang seseorang pria berjubah dengan sorban putih yang terlilit di kepalanya, menggunakan tenang matek ajian yang dimilikinya. Blar…..sebuah pukulan jeda jauh yang dahsyat menjebol tembok barat puri yang tebalnya lebih kurang satu meter. Mengendarai kuda putih, dia memberi komando agar laskar yang tersisa menentukan menjauh ke barat. Sebuah keputusan berat demi keselamatan laskar dan keluarganya. “Perang sesungguhnya baru saja akan dimulai” ujarnya dalam hati.
Itulah situasi dalam lepas 20 Juni 1825 di Yogyakarta ketika pasukan Belanda menyerang Puri Tegalrejo. Itu merupakan awal perang yang dikenal menggunakan nama Perang Diponegoro (1825 – 1830).
Pada masa itu Kerajaan Mataram Yogyakarta dipegang oleh Patih Danurejo bersama Para Reserse berdasarkan Pemerintahan Kolonial Belanda. Penyerangan Puri ini adalah menjadi buntut tuduhan pihak Belanda bahwa Pangeran Diponegoro akan memberontak. Itu sehabis Belanda menciptakan jalan yg menghubungkan Yogyakarta serta Magelang melewati puri laman tempat tinggal Beliau.
Belanda beralasan Pangeran Diponegoro memberontak sehingga mengepung kediaman beliau. Dengan kesaktiannya, Pangeran Diponegoro bersama keluarga dan pasukannya sanggup menyelamatkan diri menuju barat sampai Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan sampai datang pada Goa Selarong yg terletak lima kilometer arah barat menurut Kota Bantul.
Belanda yang nir berhasil menangkap Pangeran Diponegoro akhirnya melampiaskan kemarahannya menggunakan membakar habis puri Pangeran….
Pangeran Diponegoro, si manusia sakti mandraguna ini mempunyai nama mini Bendoro Raden Mas Ontowiryo, lahir pada Yogyakarta tanggal 11 Nopember 1785. Berbeda dengan anak kaum bangsawan, masa kecil dihabiskannya pada sebuah desa yang asri, pada Desa Tegalrejo sebelah barat Keraton Mataram. Sejak mini dia berkumpul menggunakan warga jelata dan menghayati religiusitasnya beserta para kawulo alit.
Itu sebabnya, pada hidupnya yg penuh usaha Pangeran Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan serta kesetaraan menggunakan warga , daripada bergelimang harta, tahta dan perempuan sebagaimana biasa yg terjadi pada kalangan famili istana. Meskipun tidak tinggal di Keraton, Sang Ayah mengetahui bahwa Raden Mas Ontowiryo mempunyai jiwa kepemimpinan yang kokoh bertenaga. Apalagi beliau gentur bertapa, memasak batin sehingga hidupya jejeg serta jejer, lurus dengan garis Sangkan Paraning Dumadi.
Sang ayah, Sultan Hamengku Buwono III akhirnya memutuskan mengangkatnya sebagai raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tapi apa tanggapan oleh pangeran? “Saya menolak. Biarlah yg lain saja bopo” ungkapnya dengan mimik tenang. Ya, Diponegoro menolak karena merasa bahwa ibunya bukan permaisuri serta hanya selir Sang Raja. Ibunya bernama Raden Ayu Mangkorowati, seseorang puteri Bupati Pacitan.
Situasi penjajahan kolonial Belanda saat itu memang menyebalkan. Sejak tahun 1820-an kompeni Belanda sudah mencampuri urusan kerajaan-kerajaan pada nusantara nir terkecuali Mataram, Yogyakarta. Peraturan rapikan tertib dibuat sang pemerintah Belanda yang sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Para bangsawan diadu domba. Tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil untuk perkebunan milik pengusaha-pengusaha Belanda. Rakyat yang mempergunakan jalan buat transportasi perdagangan dibebankan pajak yg tinggi.
Kesabaran Pangeran Diponegoro buat diam akhirnya berakhir saat pematokan dilaksanakan Belanda dalam sawah-sawah warga terlebih lagi melintasi kompleks pemakaman bekas leluhur para Raja Jawa. Saat itu Raja adalah Sri Sultan Hamengkubuwono V yg dinobatkan saat dia baru berumur 3 tahun.
Pemeritahan Kasultanan waktu itu tidak berdaya, karena ternyata kekuasaan yg sebenarnya terselubung dan berkoloberasi dengan Pemerintahan Kolonial. Pangeran Diponegoro akhirnya menyusun rencana buat melawan penjajahan biadab tersebut. Beliau mengajak Kyai Mojo seorang ulama Islam yg sekaligus guru spiritualnya yang pula pamannya. Kyai Mojo ini memiliki poly pengikut serta disegani, di antaranya Tumenggung Zees Pajang Mataram, Tumenggung Reksonegoro dan lain-lain.
Kharisma Diponegoro yg kuat sebagai daya tarik bagi para pemuda. Di antara pemoda yg siap buat sebagai tameng dada merupakan Sentot Prawirodirdjo. Sentot merupakan pemuda yang bagak. Ayahnya bernama Ronggo Prawirodirjo adalah ipar Sultan Hamengku Buwono IV. Sang Ayah Sentot ini pernah mengadakan pemberontakan melawan Belanda akan tetapi berhasil dibunuh oleh Gubernue Jendral Daendles. Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa harus balas dendam.
Setelah Tegalrejo jatuh ke pihak musuh pada tanggal 20 Juni 1825 itu, Pangeran Diponegoro membangung pusat pertahanan di Gua Selarong menggunakan strategi perang gerilya. Belanda kewalahan karena sulit menghancurkan kekuatan kecil-kecil yang hanya sesekali datang menyerang serta sesudah itu cepat menghilang. Senjata yg dipakai buat gerilya sangat beragam mulai menurut senjata perang tombak, keris, pedang, panah, “bandil” (semacam martil yang terbuat dari besi), “patrem” (senjata prajurit perempuan ), sampai “candrasa” (senjata tajam yang bentuknya mirip tusuk konde) yg biasa dipakai “telik sandi” (mata-mata) perempuan .
Dua senjata keramat semasa Perang Diponegoro adalah sebuah keris menggunakan lekukan 21 bernama Kyai Omyang, protesis seorang empu yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit serta pedang yg dari dari Kerajaan Demak. Kedua senjata tersebut mempunyai tenaga kesaktian yang hebat. Tetapi sayangnya, keris milik Pangeran Diponegoro justeru nir ada pada Indonesia dan hingga kini masih disimpan pada Belanda.
Di daerah gua, pangeran menempati goa sebelah barat yg dianggap Goa Kakung, yang pula sebagai tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yg paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri pada sebelah timur.
Di Goa putri ini ditemukan sejumlah alat tempat tinggal tangga yg terbuat menurut kuningan terdiri berdasarkan loka sirih dan “kecohan”-nya (loka mebuang ludah), loka “canting” (indera buat membatik), teko “bingsing”, bokor hingga banyak sekali bentuk “kacip” (indera membelah pinang buat makan sirih).
Perang Diponegoro yg oleh kalangan Belanda diklaim Java Oorlog (Perang Jawa), berlangsung hingga tahun 1830. Dalam perang ini, kerugian pihak Belanda tidak kurang menurut 15.000 tentara dan menghabiskan dana hingga 20 juta gulden. Beberapa tokoh perlawanan dibujuk sang Belanda sehingga mereka bersedia menghentikan peperangan. Dari tahun 1829 perlawanan semakin berkurang, akan tetapi masih berlanjut terus. Belanda mengumumkan akan memberi hadiah sebanyak 50.000 golden pada siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro.
Pasukan dan kekuatan Diponegoro melemah, tapi dia tidak pantang menyerah. Karena Belanda nir berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, kemudian Belanda menjalankan cara yang licik yaitu dengan cara mengundang Pangeran Diponegoro buat berunding di Magelang tanggal 28 Maret 1830. Itulah akhir usaha perang Sang Avatar menurut tanah Jawa. Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, kemudian dipindahkan ke Ujungpandang/Makasar.
Perang Diponegoro tercatat memakan korban luar biasa besar . Dipihak Belanda sebanyak 8.000 serdadu, 7.000 prajurit pribumi, dan 200.000 orang Jawa, sebagai akibatnya mengakibatkan penyusutan penduduk Jawa pada ketika itu.
Sementara itu Sentot Prawirodirdjo berhasil dibujuk Belanda, dan meletakkan senjata dalam tanggal 17 October 1829, dan beliau dikirim Belanda ke Sumatra Selatan buat melawan pembrontakan para ulama pada perang Paderi, lalu wafat pada Bengkulu pada tanggal 17 April 1855 pada usia 48 tahun.
Pangeran Diponegoro tewas dunia di benteng Rotterdam Ujungpandang, dalam tanggal 8 Januari 1855 serta dimakamkan disana. Kini bila kita berkunjung ke makam di Jalan Pangeran Diponegoro Kelurahan Melayu, Wajo, Makasar, kita akan mengelus dada. Makam pahlawan nasional ini tidak terawat dan berada di antara ruko-ruko yang semakin menjamur. Bangunan ruko-ruko yg berada di jalan tersebut nyaris menutup makam tersebut. Hanya sebuah bendera merah putih yang sanggup menandai adanya makam tadi.
Perawatan makam jua nir maksimal . Tiga orang pekerja yg menjaga makam ini hanya digaji Rp 15 ribu per minggu. Pemerintah Kota Makassar mengeluarkan donasi tiap bulannya Rp 200 ribu per bulan. Bantuan inipun baru terdapat dari tahun 2018.
KRONOLOGI SEJARAH PERANG DIPONEGORO
- 16 FEBRUARI 1830, kol Cleerens menemui Pangeran Diponegoro pada Remo Kamal, Bagelan, Purworejo, untuk mengajak berunding di Magelang. Usul ini disetujui Pangeran.
- 28 MARET 1830, beserta laskarnya, Pangeran Diponegoro menemui Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock. Pada rendezvous tadi De Kock memaksa Pangeran buat menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Pangeran. Namun Belanda, melalui kol Du Perron telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Pangeran serta semua laskarnya berhasil dilumpuhkan. Hari itu juga Pangeran diasingkan ke Ungaran kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang.
- 5 APRIL 1830 dibawa ke Batavia menggunakan Kapal Pollux.
- 11 APRIL 1830 sesampainya pada Batavia, beliau ditahan di Stadhuis (sekarang Gedung Museum Fatahillah).
- 30 APRIL 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch menjatuhkan hukuman pengasingan atasPangeran Diponegoro, Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng pula Nyai Sotaruno ke Manado.
- 3 MEI 1830, rombongan Pangeran diberangkatkan dengan Kapal Pollux dan ditawan pada Benteng Amsterdam. Belanda yg merasa Pangeran masih menjadi ancaman, lantaran di tempat ini masih sanggup melakukan komunikasi dengan masyarakat.
- 1834 diasingkan secara terpisah. Pangeran beserta Retnaningsih diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan di tahan pada Benteng Roterdam dalam supervisi ketat. Di benteng ini, Pangeran tidak lagi bebas berkiprah. Menghabiskan hari-harinya bersama Retnaningsih, Pangeran Diponegoro akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dalam tanggal 8 Januari 1855. Jasad dia disemayamkan berdampingan dengan makam Retnaningsih
Diponegoro merupakan putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada lepas 11 November 1785 pada Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seseorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yg dari berdasarkan Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama mini Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari kedudukannya menjadi putra seorang selir, Diponegoro menolak hasrat ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III buat mengangkatnya sebagai raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sebagai akibatnya ia lebih senang tinggal pada Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro sebagai salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yg baru berusia tiga tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo beserta Residen Belanda. Cara perwalian misalnya itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat Perjuangan
Perang Diponegoro berawal waktu pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, dia memang telah muak dengan kelakuan Belanda yg nir menghargai norma istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi warga menggunakan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yg menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan warga . Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir menurut Tegalrejo, serta membuat markas di sebuah goa yg bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yg dikobarkan Diponegoro membawa impak luas sampai ke wilayah Pacitan serta Kedu. Salah seseorang tokoh kepercayaan pada Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung menggunakan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang berdasarkan 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda buat menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yg sanggup menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap dalam 1830.
Penangkapan dan pengasingan
* 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan kol Cleerens bertemu pada Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran serta pengikutnya berdiam dulu pada Menoreh sembari menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock berdasarkan Batavia.
* 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock pada Magelang. De Kock memaksa mengadakan negosiasi serta mendesak Diponegoro supaya menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Namun Belanda sudah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, lalu dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan pribadi ke Batavia menggunakan kapal Pollux dalam lima April.
* 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian menurut Gubernur Jenderal Van den Bosch.
* 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono serta istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
* 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado serta ditawan di benteng Amsterdam.
* 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam pada Makassar, Sulawesi Selatan.
* 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
MAKAM PANGERAN DIPONEGORO
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan pada daerah Kulon Progo serta Bagelen.
Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang tewas dalam penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh pada asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai waktu ini keturunan Ki Sodewo masih permanen eksis dan keliru satunya menjadi wakil Bupati pada Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan pada daerah Kulon Progo serta Bagelen.
Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang tewas dalam penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh pada asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai waktu ini keturunan Ki Sodewo masih permanen eksis dan keliru satunya menjadi wakil Bupati pada Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono.
Setidaknya Pangeran Diponegoro memiliki 17 putra serta 5 orang putri, yg semuanya sekarang hayati tersebar pada seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku
NASAB PANGERAN DIPONEGORO
- Brawijaya V / R Alit / Angkawijaya
- R Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub
- R Depok / Ki Ageng Getas Pandowo
- Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo
- Ki Ageng Anis (Ngenis)
- Ki Ageng Pemanahan / Mataram
- R Sutowijoyo / Panembahan Senopati
- Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati
- Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo
- Sunan Prabu Amangkurat Agung
- Kanjeng Susuhunan Pakubuwono I - Kartasura
- Sinuwun Prabu Mangkurat IV - Kartasura
- Pangeran Hario Mangkubumi - Hamengku Buwono I
- Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II
- Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III
- Pangeran Diponegoro
SUMBER: //bedahauracenter.blogspot.com/2011/10/pangeran-diponegoro.html