Kronologi perseteruan AHOK VS BPK Siapa yang Salah
Perseteruan Badan Pemeriksa Keuangan dengan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengenai pembelian tiga,6 hektare lahan Rumah Sakit Sumber Waras memasuki babak baru. Setelah saling-silang soal kerugian negara, Basuki alias Ahok menyoal mekanisme yang diterabas BPK dalam membuat audit pembelian pada Desember 2018 senilai Rp 755 miliar itu.
Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan tak terdapat pelanggaran kode etik pada penyusunan laporan hasil pemeriksaan anggaran pemerintah DKI Jakarta tahun 2018. Juru bicara BPK, Raden Yudi Ramdan, menyampaikan tak terbukti adanya hegemoni dalam pembuatan laporan tersebut. "Prosesnya sudah sinkron menggunakan standar serta kewenangan," katanya, kemarin.
Sidang yg digelar Majelis Kehormatan bermula menurut surat pengaduan yg dikirim Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tertanggal tiga Agustus 2018. Basuki menyoroti 2 hal: mekanisme penyerahan laporan hasil pemeriksaan serta meninjau ulang poin temuan tentang pembelian lahan Sumber Waras.
Laporan Hasil Pemeriksaan itu dibentuk ketika Efdinal menjabat Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan DKI Jakarta. Efdinal diduga menggunakan audit itu agar pemerintah bersedia membeli lahan di tengahan Pemakaman Pondok Kopi. Setelah ditelisik, lahan 9.618 meter persegi itu ternyata miliknya. Pemerintah selalu menolak membeli lantaran lahan tersebut sudah milik Dinas Pemakaman.
Basuki meminta Majelis Etika memanggil dan memeriksanya. Ia menunjukkan bukti surat BPK yang akan memanggilnya buat klarifikasi. "Sampai delapan bulan aku tak pernah diperiksa," tuturnya.
Menurut Yudi, BPK tidak menemukan pelanggaran etika pada laporan tersebut sehingga tidak perlu menilik Basuki. Efdinal memang dicopot menurut jabatan Kepala BPK tetapi tak disebutkan dampak laporan Indonesia Corruption Watch atas dugaan pelanggaran etika itu. Hasil Majelis Etika sudah dilaporkan kepada Basuki dalam 23 Maret 2018. "Hasilnya final," kata Yudi.
Soal mekanisme audit Sumber Waras, menurut Basuki, tim BPK Jakarta tidak memberi kesempatan kepada pemerintah memperbaiki temuan-temuan auditor. BPK malah eksklusif menaruh audit tadi kepada DPRD Jakarta pada sidang paripurna. BPK juga meminta Sekretaris Daerah Saefullah menandatangani tanda terima penyerahan laporan. "Baru kali ini laporan tidak diserahkan kepada ketua wilayah," pungkasnya.
Yudi tidak memusingkan mekanisme yg dipermasalahkan Basuki. Ia berkata laporan hasil inspeksi tak wajib diterima gubernur lantaran sifatnya antar-instansi. "Diterima kepala bagian rapikan bisnis pun boleh," pungkasnya.
Basuki juga mempermasalahkan temuan BPK atas pembelian lahan Sumber Waras. BPK menilai Basuki tak cermat lantaran membeli Sumber Waras yang mengakibatkan kerugian negara karena ada disposisi pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Basuki menyoal temuan itu lantaran tak pernah diklarifikasi selama audit.
Dalam audit tadi, Basuki juga tidak sependapat dengan rekomendasi BPK supaya pemerintah membatalkan pembelian dan mengembalikan uangnya. Menurut beliau, tidak terdapat yg keliru dalam pembelian itu karena lahan bebas konkurensi serta siap bangun untuk tempat tinggal sakit kanker.
Yudi berkata penelusuran pembelian huma dilakukan karena auditor menilai transaksinya janggal. Dalam laporan, tercatat adanya transfer ke rekening Bank DKI milik Dinas Kesehatan ke bendahara Dinas dalam 31 Desember 2018 senilai Rp 755,69 miliar. "Kalau pembelian lahan, harusnya langsung dibayarkan ke pihak ketiga," katanya.
Dengan membandingkan penawaran Ciputra, BPK menganggap terdapat kerugian Rp 191 miliar. Lagi juga nilai pajaknya juga galat, lantaran BPK meyakini pajaknya mengikut Jalan Tomang Utara, yang selisih Rp 13 juta. Adapun Basuki mendasarkan pembelian pada pajak Jalan Kiai Tapa, misalnya tertera pada sertifikat tanah, sebesar Rp 20,7 juta, yang ditetapkan Kementerian Keuangan.lindA HAIRANI Koran tempo
Peluru Baru: Hak Guna Bangunan
Di luar kerugian negara dan nilai jual obyek pajak, Badan Pemeriksa Keuangan menyalahkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama waktu membeli lahan Rumah Sakit Sumber Waras. BPK menyebut kerugian negara Rp 191 miliar, nomor kemahalan dibanding tawaran Ciputra setahun sebelumnya. Juga menganggap pajak huma seharusnya mengikuti Jalan Tomang Utara.
Pembelian itu mengacu dalam pajak Kiai Tapa sebanyak Rp 20,7 juta, lebih tinggi Rp 13 juta dibanding Jalan Tomang Utara. Dasar Kiai Tapa sinkron menggunakan sertifikat serta nilai pajak menurut keputusan Dinas Pajak lantaran ada kenaikan sebesar 80 persen dalam tahun itu. Dalam auditnya BPK menyalahkan Basuki yang buru-buru membeli tanah itu serta menaikkan nilai pajak.
Menurut Basuki, itu cara berpikir penjahat. Soalnya, bila beliau tidak meningkatkan nilai pajak, pemerintah rugi dampak PBB terlalu murah. "Jangan hingga, lantaran ingin membeli murah Sumber Waras, lalu rugi penerimaan pajak menurut daerah lain," katanya.
Basuki pula dibidik karena kabar pada sertifikat Jalan Kiai Tapa, yang menyebut hak guna bangunan Sumber Waras pada lahan itu berakhir 26 Mei 2018. Menurut Basuki, BPK serta penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menanyakan soal itu. Dengan kata lain, tanpa dibeli dalam 2018, huma itu akan sebagai milik pemerintah Jakarta menggunakan sendirinya pada 2018.
Basuki mengungkapkan, meski status HGB berakhir, tak dan-merta sebagai milik pemerintah. Pemilik huma adalah Badan Pertanahan Nasional serta statusnya bisa diperpanjang oleh pemilik Sumber Waras. "Kalau cara berpikirnya begitu, pemerintah tidak usah beli tanah, di semua Indonesia tunggu saja HGB atau HGU habis, sanggup kaya kita," istilah dia.
Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan tak terdapat pelanggaran kode etik pada penyusunan laporan hasil pemeriksaan anggaran pemerintah DKI Jakarta tahun 2018. Juru bicara BPK, Raden Yudi Ramdan, menyampaikan tak terbukti adanya hegemoni dalam pembuatan laporan tersebut. "Prosesnya sudah sinkron menggunakan standar serta kewenangan," katanya, kemarin.
Sidang yg digelar Majelis Kehormatan bermula menurut surat pengaduan yg dikirim Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tertanggal tiga Agustus 2018. Basuki menyoroti 2 hal: mekanisme penyerahan laporan hasil pemeriksaan serta meninjau ulang poin temuan tentang pembelian lahan Sumber Waras.
Laporan Hasil Pemeriksaan itu dibentuk ketika Efdinal menjabat Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan DKI Jakarta. Efdinal diduga menggunakan audit itu agar pemerintah bersedia membeli lahan di tengahan Pemakaman Pondok Kopi. Setelah ditelisik, lahan 9.618 meter persegi itu ternyata miliknya. Pemerintah selalu menolak membeli lantaran lahan tersebut sudah milik Dinas Pemakaman.
Basuki meminta Majelis Etika memanggil dan memeriksanya. Ia menunjukkan bukti surat BPK yang akan memanggilnya buat klarifikasi. "Sampai delapan bulan aku tak pernah diperiksa," tuturnya.
Menurut Yudi, BPK tidak menemukan pelanggaran etika pada laporan tersebut sehingga tidak perlu menilik Basuki. Efdinal memang dicopot menurut jabatan Kepala BPK tetapi tak disebutkan dampak laporan Indonesia Corruption Watch atas dugaan pelanggaran etika itu. Hasil Majelis Etika sudah dilaporkan kepada Basuki dalam 23 Maret 2018. "Hasilnya final," kata Yudi.
Soal mekanisme audit Sumber Waras, menurut Basuki, tim BPK Jakarta tidak memberi kesempatan kepada pemerintah memperbaiki temuan-temuan auditor. BPK malah eksklusif menaruh audit tadi kepada DPRD Jakarta pada sidang paripurna. BPK juga meminta Sekretaris Daerah Saefullah menandatangani tanda terima penyerahan laporan. "Baru kali ini laporan tidak diserahkan kepada ketua wilayah," pungkasnya.
Yudi tidak memusingkan mekanisme yg dipermasalahkan Basuki. Ia berkata laporan hasil inspeksi tak wajib diterima gubernur lantaran sifatnya antar-instansi. "Diterima kepala bagian rapikan bisnis pun boleh," pungkasnya.
Basuki juga mempermasalahkan temuan BPK atas pembelian lahan Sumber Waras. BPK menilai Basuki tak cermat lantaran membeli Sumber Waras yang mengakibatkan kerugian negara karena ada disposisi pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Basuki menyoal temuan itu lantaran tak pernah diklarifikasi selama audit.
Dalam audit tadi, Basuki juga tidak sependapat dengan rekomendasi BPK supaya pemerintah membatalkan pembelian dan mengembalikan uangnya. Menurut beliau, tidak terdapat yg keliru dalam pembelian itu karena lahan bebas konkurensi serta siap bangun untuk tempat tinggal sakit kanker.
Yudi berkata penelusuran pembelian huma dilakukan karena auditor menilai transaksinya janggal. Dalam laporan, tercatat adanya transfer ke rekening Bank DKI milik Dinas Kesehatan ke bendahara Dinas dalam 31 Desember 2018 senilai Rp 755,69 miliar. "Kalau pembelian lahan, harusnya langsung dibayarkan ke pihak ketiga," katanya.
Dengan membandingkan penawaran Ciputra, BPK menganggap terdapat kerugian Rp 191 miliar. Lagi juga nilai pajaknya juga galat, lantaran BPK meyakini pajaknya mengikut Jalan Tomang Utara, yang selisih Rp 13 juta. Adapun Basuki mendasarkan pembelian pada pajak Jalan Kiai Tapa, misalnya tertera pada sertifikat tanah, sebesar Rp 20,7 juta, yang ditetapkan Kementerian Keuangan.lindA HAIRANI Koran tempo
Peluru Baru: Hak Guna Bangunan
Di luar kerugian negara dan nilai jual obyek pajak, Badan Pemeriksa Keuangan menyalahkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama waktu membeli lahan Rumah Sakit Sumber Waras. BPK menyebut kerugian negara Rp 191 miliar, nomor kemahalan dibanding tawaran Ciputra setahun sebelumnya. Juga menganggap pajak huma seharusnya mengikuti Jalan Tomang Utara.
Pembelian itu mengacu dalam pajak Kiai Tapa sebanyak Rp 20,7 juta, lebih tinggi Rp 13 juta dibanding Jalan Tomang Utara. Dasar Kiai Tapa sinkron menggunakan sertifikat serta nilai pajak menurut keputusan Dinas Pajak lantaran ada kenaikan sebesar 80 persen dalam tahun itu. Dalam auditnya BPK menyalahkan Basuki yang buru-buru membeli tanah itu serta menaikkan nilai pajak.
Menurut Basuki, itu cara berpikir penjahat. Soalnya, bila beliau tidak meningkatkan nilai pajak, pemerintah rugi dampak PBB terlalu murah. "Jangan hingga, lantaran ingin membeli murah Sumber Waras, lalu rugi penerimaan pajak menurut daerah lain," katanya.
Basuki pula dibidik karena kabar pada sertifikat Jalan Kiai Tapa, yang menyebut hak guna bangunan Sumber Waras pada lahan itu berakhir 26 Mei 2018. Menurut Basuki, BPK serta penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menanyakan soal itu. Dengan kata lain, tanpa dibeli dalam 2018, huma itu akan sebagai milik pemerintah Jakarta menggunakan sendirinya pada 2018.
Basuki mengungkapkan, meski status HGB berakhir, tak dan-merta sebagai milik pemerintah. Pemilik huma adalah Badan Pertanahan Nasional serta statusnya bisa diperpanjang oleh pemilik Sumber Waras. "Kalau cara berpikirnya begitu, pemerintah tidak usah beli tanah, di semua Indonesia tunggu saja HGB atau HGU habis, sanggup kaya kita," istilah dia.