Yang Liping sohor memadukan keragaman etnis dan menuangkannya ke dalam mahakarya
Yang Liping sohor memadukan keragaman etnis dan menuangkannya ke dalam mahakarya 'Spirit of The Peacok' dan 'Under Siege', yang mengantarkannya ke Australia.
Legenda penari China, Yang Liping menghadirkan produksi terbarunya 'Under Siege' pada event Melbourne Festival. (Yang Liping)
Koreografer China Yang Liping adalah nama yg amat tenar di China pada tahun 1980-an ketika tariannya yg terkenal ‘Spirit of The Peacok' berhasil menangkap imajinasi warga pada negaranya. Legenda tari ini mengungkapkan latar belakang etnis minoritasnya sudah memberi kontribusi dalam karya terbarunya, ‘Under Siege’.
Duduk pada ruang rias di belakang panggung di Pusat Seni Melbourne, penari serta koreografer, Yang Liping menerawang kembali pada kenangan di masa kecilnya.
"Masa kecil saya penuh menggunakan kesulitan, akan tetapi seluruh anggota famili saya masih sempat melewatkannya menggunakan bergembira bernyanyi dan menari," pungkasnya.
Kesulitan tersebut termasuk membantu membesarkan saudara kandungnya sehabis ayahnya datang-tiba saja meninggalkan famili saat dia masih sangat muda.
Baca jua: Batik Menjadi Primadona di Museum Tekstil George Washington University
Namun, kecintaannya yg nir pernah terpuaskan terhadap lagu serta tarian telah menuntunnya dalam sebuah karir pada anjung pementasan, yang dimulai menggunakan sebuah undangan untuknya pada tahun 1971 buat bergabung dengan 'Xishuangbanna Prefecture Song and Dance Troupe' – sebuah ansambel yang mempertemukan puluhan anak-anak dari banyak sekali latar belakang etnis.
Yang Liping merupakan anggota ensambel itu berdasarkan gerombolan etnis minoritas di China, Bai, yang secara umum dikuasai tinggal pada Propinsi Yunnan pada China selatan. Menurut sensus di negaranya tahun 2018, grup etnis Bai hanya menyumbang 0,145 % menurut total populasi negara tersebut.
Dari China selatan, dia akhirnya melakukan bepergian jauh ke utara, pada mana dia mulai bekerja dan belajar menari pada Beijing.
Peralihan berdasarkan menari di kaki pegunungan di kampung halamannya buat belajar secara formal pada Beijing sangat sulit.
"Kelas balet ensemble serta latihan fisik membuat saya merasa tidak tahu bagaimana buat menari lagi," jelasnya.
"Tubuh saya semakin kaku dan gerakan fisik aku menjadi semakin mekanis.
"Saya kehilangan semangat dalam rutinitas itu."
Karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan rezim pembinaan yg terbatas, dia memutuskan buat berhenti dari kelas ensambel serta mencoba menemukan pulang gairahnya.
Putri Merak
Bebas menurut rutinitas belajar di kelas, Yang Liping mulai membuat bahasa fisiknya sendiri dengan menggunakan media tarian. Dia menggabungkan bahasa itu dengan kenangan akan kampung halamannya.
"Membuat seni adalah tentang menemukan gaya unik Anda, jadi aku menafsirkan ulang tarian merak tradisional berdasarkan kampung page saya serta menjadikannya sebagai kekhasan saya."
Baca jua: Kastel Good Hope, Mahakarya VOC pada Benua Hitam
Yang Liping pertama kali mempresentasikan tarian Spirit of the Peacock-nya ke khalayak pada tahun 1986, dan tahun berikutnya dia diminta buat tampil pada stasiun TV Central pada China dalam acara Gala malam Tahun Baru yg disiarkan pada semua negeri.
Orang-orang mulai memanggilnya menggunakan panggilan kesayangan ‘Putri Merak’.
Seniman instalasi China Liu Beili membangun ribuan gunting yg bergantungan diatas anjung 'Under Siege'. (Yang Liping)
Menurut Yang Liping alam menjadi semakin krusial bagi keahliannya.
"Saya mengikuti angin bertiup buat mempelajari irama, serta kemudian melihat awan yg berarak buat belajar bagaimana mengayunkan tubuh kita, dan melihat burung merak yang indah buat belajar mengepakkan lengan kita menjadi sayap.
"Saya belajar dari sekolah kehidupan - dari gerakan semut mini dan menemukan ilham menari saya menurut capung."
Namun demikian, karya modern Yang Liping, difokuskan pada pengamatannya terhadap rakyat terbaru.
Lakon 'Under Siege'
Under Siege berdasarkan pada sebuah cerita menurut sejarah antik China: The Chu-Han Contention - sebuah perang antara 2 negara yang bersaing buat menerima penguasaan.
Cerita cinta pada seputar masa perang antara pemimpin Chu Xiang Yu dan selirnya Yu Ji yg sangat populer sehabis didramatisir di opera Peking ‘Farewell My Concubine’ (Selamat Tinggal Selirku).
Artikel terkait: Berkunjung ke Rumah Budaya Desa Sambong
Di mata Yang Liping, cerita berusia 2018 tahun itu sama relevannya dengan hari ini.
"Meskipun perang ini terjadi 2018 tahun yg kemudian, masih poly peperangan yg terjadi, begitu banyak pengungsi miskin serta kehilangan loka tinggal, karena itulah kami meletakkan cerita ini di atas anjung, aku ingin menunjukkan sisi gelap berdasarkan realitas kami."
Untuk mencapai visinya, Yang merekrut pengarah adegan peraih Oscar Tim Yip buat mengerjakan desain busana , begitu pula dengan artis instalasi Liu Beili buat merancang panggung serta indera peraga, dan direktur teater ternama, Tian Qinxin menjadi konsultan.
Penari laki-laki Hu Shenyuan memerankan selir Yu Ji. (Yang Liping)
Gender serta keragaman etnis
Yang Liping berkata bahwa latar belakang etniknya memberi memahami keragaman tim yg dia bawa beserta buat pementasan lakon ‘Under Siege’, yg mencakup para pemain menggunakan latar belakang etnis yg tidak selaras.
Dia juga menantang kebiasaan gender, menggunakan bersikeras berakibat seorang aktor laki-laki memainkan kiprah selir Yu Ji, serta mendorong artis instalasi Liu Beili buat membangun bagian-bagian yang keras serta kuat buat menghiasi anjung, termasuk puluhan ribu gunting yg tergantung di atas panggung, dan bulu merah ke digunakan sebagai darah
"Karya seni seorang wanita jua bisa jadi kejam dan kuat."
Ratu Merak China menggambarkan sisi gelap berdasarkan sifat alami manusia dengan timnya di Melbourne Festival. (Yang Liping)
Selama kunjungannya ke Australia, Yang Liping mengungkapkan bahwa dia merasakan adanya interaksi antara etnis minoritas Yunnan menggunakan penduduk orisinil Australia (Aborijin).
"Di provinsi Yunnan, terdapat gerombolan etnis minoritas bernama Wa. Penampilan, istiadat tata cara, tarian, serta bahkan musik mereka serupa dengan orang asli Australia (Aborijin)."
Bahkan tanpa bahasa celoteh yg sama, Yang berharap bisa berkomunikasi dengan masyarakat Australia melalui tarian.
Artikel terkait: Mungkinkah Leonardo da Vinci Melukis Lukisan "Mona Lisa Telanjang"?
"Tari adalah apa yg aku pakai untuk berkomunikasi menggunakan global luar, terutama saat aku tiba ke negara dengan kendala bahasa.
"Tidak kasus menurut grup etnis mana aku asal - aku memakai tarian menjadi bahasa aku buat berkomunikasi menggunakan audiens berdasarkan semua latar belakang."
Artikel ini telah pernah tayang di australiaplus.com menggunakan judul Legenda Tari dari China Gelar Pementasan di Melbourne.
(Bang Xiao/australiaplus.com)
Koreografer China Yang Liping adalah nama yg amat tenar di China pada tahun 1980-an ketika tariannya yg terkenal ‘Spirit of The Peacok' berhasil menangkap imajinasi warga pada negaranya. Legenda tari ini mengungkapkan latar belakang etnis minoritasnya sudah memberi kontribusi dalam karya terbarunya, ‘Under Siege’.
Duduk pada ruang rias di belakang panggung di Pusat Seni Melbourne, penari serta koreografer, Yang Liping menerawang kembali pada kenangan di masa kecilnya.
"Masa kecil saya penuh menggunakan kesulitan, akan tetapi seluruh anggota famili saya masih sempat melewatkannya menggunakan bergembira bernyanyi dan menari," pungkasnya.
Kesulitan tersebut termasuk membantu membesarkan saudara kandungnya sehabis ayahnya datang-tiba saja meninggalkan famili saat dia masih sangat muda.
Baca jua: Batik Menjadi Primadona di Museum Tekstil George Washington University
Namun, kecintaannya yg nir pernah terpuaskan terhadap lagu serta tarian telah menuntunnya dalam sebuah karir pada anjung pementasan, yang dimulai menggunakan sebuah undangan untuknya pada tahun 1971 buat bergabung dengan 'Xishuangbanna Prefecture Song and Dance Troupe' – sebuah ansambel yang mempertemukan puluhan anak-anak dari banyak sekali latar belakang etnis.
Yang Liping merupakan anggota ensambel itu berdasarkan gerombolan etnis minoritas di China, Bai, yang secara umum dikuasai tinggal pada Propinsi Yunnan pada China selatan. Menurut sensus di negaranya tahun 2018, grup etnis Bai hanya menyumbang 0,145 % menurut total populasi negara tersebut.
Dari China selatan, dia akhirnya melakukan bepergian jauh ke utara, pada mana dia mulai bekerja dan belajar menari pada Beijing.
Peralihan berdasarkan menari di kaki pegunungan di kampung halamannya buat belajar secara formal pada Beijing sangat sulit.
"Kelas balet ensemble serta latihan fisik membuat saya merasa tidak tahu bagaimana buat menari lagi," jelasnya.
"Tubuh saya semakin kaku dan gerakan fisik aku menjadi semakin mekanis.
"Saya kehilangan semangat dalam rutinitas itu."
Karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan rezim pembinaan yg terbatas, dia memutuskan buat berhenti dari kelas ensambel serta mencoba menemukan pulang gairahnya.
Putri Merak
Bebas menurut rutinitas belajar di kelas, Yang Liping mulai membuat bahasa fisiknya sendiri dengan menggunakan media tarian. Dia menggabungkan bahasa itu dengan kenangan akan kampung halamannya.
"Membuat seni adalah tentang menemukan gaya unik Anda, jadi aku menafsirkan ulang tarian merak tradisional berdasarkan kampung page saya serta menjadikannya sebagai kekhasan saya."
Baca jua: Kastel Good Hope, Mahakarya VOC pada Benua Hitam
Yang Liping pertama kali mempresentasikan tarian Spirit of the Peacock-nya ke khalayak pada tahun 1986, dan tahun berikutnya dia diminta buat tampil pada stasiun TV Central pada China dalam acara Gala malam Tahun Baru yg disiarkan pada semua negeri.
Orang-orang mulai memanggilnya menggunakan panggilan kesayangan ‘Putri Merak’.
Menurut Yang Liping alam menjadi semakin krusial bagi keahliannya.
"Saya mengikuti angin bertiup buat mempelajari irama, serta kemudian melihat awan yg berarak buat belajar bagaimana mengayunkan tubuh kita, dan melihat burung merak yang indah buat belajar mengepakkan lengan kita menjadi sayap.
"Saya belajar dari sekolah kehidupan - dari gerakan semut mini dan menemukan ilham menari saya menurut capung."
Namun demikian, karya modern Yang Liping, difokuskan pada pengamatannya terhadap rakyat terbaru.
Lakon 'Under Siege'
Under Siege berdasarkan pada sebuah cerita menurut sejarah antik China: The Chu-Han Contention - sebuah perang antara 2 negara yang bersaing buat menerima penguasaan.
Cerita cinta pada seputar masa perang antara pemimpin Chu Xiang Yu dan selirnya Yu Ji yg sangat populer sehabis didramatisir di opera Peking ‘Farewell My Concubine’ (Selamat Tinggal Selirku).
Artikel terkait: Berkunjung ke Rumah Budaya Desa Sambong
Di mata Yang Liping, cerita berusia 2018 tahun itu sama relevannya dengan hari ini.
"Meskipun perang ini terjadi 2018 tahun yg kemudian, masih poly peperangan yg terjadi, begitu banyak pengungsi miskin serta kehilangan loka tinggal, karena itulah kami meletakkan cerita ini di atas anjung, aku ingin menunjukkan sisi gelap berdasarkan realitas kami."
Untuk mencapai visinya, Yang merekrut pengarah adegan peraih Oscar Tim Yip buat mengerjakan desain busana , begitu pula dengan artis instalasi Liu Beili buat merancang panggung serta indera peraga, dan direktur teater ternama, Tian Qinxin menjadi konsultan.
Gender serta keragaman etnis
Yang Liping berkata bahwa latar belakang etniknya memberi memahami keragaman tim yg dia bawa beserta buat pementasan lakon ‘Under Siege’, yg mencakup para pemain menggunakan latar belakang etnis yg tidak selaras.
Dia juga menantang kebiasaan gender, menggunakan bersikeras berakibat seorang aktor laki-laki memainkan kiprah selir Yu Ji, serta mendorong artis instalasi Liu Beili buat membangun bagian-bagian yang keras serta kuat buat menghiasi anjung, termasuk puluhan ribu gunting yg tergantung di atas panggung, dan bulu merah ke digunakan sebagai darah
"Karya seni seorang wanita jua bisa jadi kejam dan kuat."
Selama kunjungannya ke Australia, Yang Liping mengungkapkan bahwa dia merasakan adanya interaksi antara etnis minoritas Yunnan menggunakan penduduk orisinil Australia (Aborijin).
"Di provinsi Yunnan, terdapat gerombolan etnis minoritas bernama Wa. Penampilan, istiadat tata cara, tarian, serta bahkan musik mereka serupa dengan orang asli Australia (Aborijin)."
Bahkan tanpa bahasa celoteh yg sama, Yang berharap bisa berkomunikasi dengan masyarakat Australia melalui tarian.
Artikel terkait: Mungkinkah Leonardo da Vinci Melukis Lukisan "Mona Lisa Telanjang"?
"Tari adalah apa yg aku pakai untuk berkomunikasi menggunakan global luar, terutama saat aku tiba ke negara dengan kendala bahasa.
"Tidak kasus menurut grup etnis mana aku asal - aku memakai tarian menjadi bahasa aku buat berkomunikasi menggunakan audiens berdasarkan semua latar belakang."
Artikel ini telah pernah tayang di australiaplus.com menggunakan judul Legenda Tari dari China Gelar Pementasan di Melbourne.
(Bang Xiao/australiaplus.com)