Pengertian Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia Tugas dan Fungsinya

MPR, atau menggunakan nama yg lebih lengkap yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Majelis Permusyawaratan Rakyat-RI) adalah forum legislatif bikameral (yaitu Sistem dua kamar yang merupakan praktik pemerintahan yang memakai 2 kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) merupakan parlemen atau forum legistlatif yang terdiri atas 2 kamar. Dengan bahasa jelasnya, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat-RI jua merangkap menjadi anggota DPR-RI.) MPR-RI adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. (lihat : Lembaga tinggi RI). Sebelum Reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 tahun di ibukota negara. Tetapi kini nir lagi.

Sejarah MPR Indonesia



Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yg masih belia pada menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya merupakan ideologi Pancasila yg diciptakan sang bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya berdasarkan ekskavasi serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amendemen yang baru ditetapkan keesokan harinya dalam lepas 18 Agustus 1945 sang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) tersebut mengatur banyak sekali macam forum negara menurut Lembaga Tertinggi Negara sampai Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yg demokratis sang forum-forum negara tersebut sebagai perwujudan berdasarkan sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak buat mengejawantahkan aspirasi rakyat pada sistem perwakilan, buat pertama kalinya dilontarkan sang Bung Karno, pada pidatonya lepas 01 Juni 1945. Muhammad Yamin pula mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yg mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah menggunakan kata Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota famili dapat memberikan pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo membicarakan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ menggunakan asumsi bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas semua wakil warga , semua wakil wilayah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan pada Sidang PPKI dalam program ratifikasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen).


Masa Orde Lama (1945-1965) serta Orde Baru (1965-1999)



Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibuat secara utuh lantaran gentingnya situasi ketika itu. Hal ini telah diantispasi sang para pendiri bangsa menggunakan Pasal IV Aturan Peralihan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) mengungkapkan, Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat serta Dewan Pertimbangan Agung dibuat menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yg fundamental atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak waktu itu mulailah lembaran baru pada sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut memutuskan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) dimulailah lembaran pertama sejarah Majelis Permusyawaratan Rakyat, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) serta UUD Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum buat menentukan anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat UUD.
Namun, Konstituante yang semula diperlukan bisa tetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yg tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan buat pulang ke Undang-Undang Dasar 1945, tetapi anjuran ini pun nir mencapai konvensi di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal lima Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden yang berisikan :
  • Pembubaran Konstituante,
  • Berlakunya pulang UUD 1945 dan nir berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
  • Pembentukan MPR Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan sang Dekret Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yg mengatur Pembentukan MPRS menjadi berikut :
  • MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan berdasarkan wilayah-daerah serta golongan-golongan.
  • Jumlah Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan oleh Presiden.
  • Yang dimaksud dengan daerah serta golongan-golongan artinya Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
  • Anggota tambahan MPRS diangkat sang Presiden dan mengangkat sumpah dari agamanya pada hadapan Presiden atau Ketua MPRS yg dikuasakan oleh Presiden.
  • MPRS memiliki seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yg diangkat sang Presiden.

Jumlah anggota MPRS dalam waktu dibuat menurut Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yg terdiri berdasarkan 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Pada lepas 30 September 1965 terjadi insiden pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis menurut insiden pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak dibutuhkan adanya koreksi total atas semua kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya pada kehidupan kenegaraan. MPRS yg pembentukannya berdasarkan pada Dekret Presiden lima Juli 1959 serta selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor dua Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dilihat tidak memadai lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan tadi maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yg dipilih sang masyarakat, maka MPRS menjalankan tugas serta wewenangnya sinkron menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 hingga Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum terbentuk.
Rakyat yg merasa telah dikhianati oleh insiden pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno tentang pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya dan kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yg diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS menjadi pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan pada Keputusan MPRS Nomor lima Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS pada suratnya tertangal 10 januari 1967 yg diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, namun ternyata tidak pula memenuhi asa warga . Setalah membahas surat Presiden tadi, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno sudah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR pada Resolusi serta Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 pada menilai “Nawaksara” bersama pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, serta Pancasila”.

Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno berdasarkan jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan menentukan/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sinkron Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, dan memerintahkan Badan Kehakiman yg berwenang buat mengadakan pengamatan, inspeksi, dan penuntutan secara hukum.
Sejak saat itu, maka semangat Orde Baru sudah menggantikan Orde Lama yang tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila.


Masa Reformasi (1999-kini )



Bergulirnya reformasi yang membentuk perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan buat tidak menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam posisi menjadi lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR sebagai lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan forum-forum negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh masyarakat Indonesia yg melaksanakan kedaulatan masyarakat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi forum-lembaga negara terutama membarui kedudukan, fungsi serta kewenangan MPR yang dianggap disharmoni menggunakan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan warga sebagai akibatnya sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.
Pasal 1 ayat (dua) yg semula berbunyi: “Kedaulatan merupakan pada tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya sang MPR.” , sesudah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan warga dan dilaksanakan dari Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian aplikasi kedaulatan rakyat nir lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah forum negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi melalui cara-cara serta sang berbagai forum negara yang dipengaruhi oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yg sebelum juga setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah serta tetapkan Undang-Undang Dasar sebagai aturan dasar negara yang mengatur hal-hal penting serta mendasar. Oleh karenanya pada perkembangan sejarahnya MPR serta konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yg erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

Tugas serta wewenang serta Fungsi MPR-RI

Adapun tugas dan fungsi majelis permusyawaratan Rakyat Indonesia adalah terdiri menurut 6 poin. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengubah dan memutuskan Undang-Undang Dasar
MPR berwenang mengubah dan memutuskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengganti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak bisa mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usul pengubahan pasal UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan sang sekurangkurangnya 1/tiga (satu pertiga) berdasarkan jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan memperlihatkan secara kentara pasal yg diusulkan diubah beserta alasannya.
Usul pengubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelidiki kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yg diusulkan diubah yg disertai alasan pengubahan yang paling usang dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari semenjak usul diterima pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam pemeriksaan, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengadakan rapat menggunakan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR buat membahas kelengkapan persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta karena. Namun, bila pengubahan dinyatakan sang pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat harus menyelenggarakan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yg telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa tetapkan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menggunakan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (5 puluh %) berdasarkan jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
2. Melantik Presiden dan wapres output pemilihan umum
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden output pemilihan generik pada sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebelum reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan forum tertinggi negara mempunyai kewenangan buat menentukan Presiden serta wapres menggunakan suara terbanyak, tetapi sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri sang MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna MPR Republik Indonesia ke-7 (lanjutan dua) lepas 09 November 2018, yg tetapkan bahwa Presiden dan wapres dipilih secara langsung oleh masyarakat, Pasal 6A ayat (1).
3. Memutuskan usul DPR buat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden serta/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau wapres diusulkan sang DPR.
MPR harus menyelenggarakan sidang sempurna MPR untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau wapres pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat mendapat usul. Usul DPR wajib dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela serta/atau terbukti bahwa Presiden serta/atau wapres nir lagi memenuhi kondisi menjadi Presiden dan/atau wapres.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden serta/atau Wakil Presiden diambil pada sidang sempurna MPR yg dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) berdasarkan jumlah anggota serta disetujui sang sekurang-kurangnya dua/tiga (2 pertiga) dari jumlah anggota yg hadir.

4. Melantik wapres sebagai Presiden
Jika Presiden meninggal, berhenti, diberhentikan, atau tidak bisa melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat segera menyelenggarakan sidang sempurna MPR untuk melantik wapres menjadi Presiden. Dalam hal Majelis Permusyawaratan Rakyat nir bisa mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut kepercayaan atau berjanji menggunakan benar-benar-benar-benar di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan kedap,Presiden bersumpah dari agama atau berjanji menggunakan benar-benar-sungguh pada hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
5. Memilih wapres 
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang sempurna pada waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari buat memilih Wakil Presiden menurut dua (2) calon yang diusulkan sang Presiden bila terjadi kekosongan jabatan wapres dalam masa jabatannya.
6. Memilih Presiden serta Wakil Presiden
Apabila Presiden dan Wakil Presiden tewas, berhenti, diberhentikan, atau nir dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari buat menentukan Presiden dan Wakil Presiden, dari dua (2) pasangan calon presiden serta wakil presiden yg diusulkan oleh partai politik atau adonan partai politik yg pasangan calon Presiden serta Wakil Presidennya meraih bunyi terbanyak pertama serta kedua dalam pemilihan generik sebelumnya, hingga berakhir masa jabatannya.
Dalam hal Presiden serta wapres meninggal, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan merupakan Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Pertahanan secara beserta-sama.

Keanggotaan

MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat diresmikan menggunakan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, serta utusan golongan, menurut anggaran yang ditetapkan undang-undang. Jumlah anggota MPR periode 2018–2014 merupakan 692 orang yg terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR merupakan lima tahun, dan berakhir bersamaan dalam saat anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yg baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yg dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yg dipandu oleh pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Hak dan kewajiban anggota MPR-RI

- Hak anggota
  1. Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Menentukan perilaku dan pilihan pada pengambilan keputusan.
  3. Memilih dan dipilih.
  4. Membela diri.
  5. Imunitas.
  6. Protokoler.
  7. Keuangan serta administratif.

-Kewajiban anggota
  1. Memegang teguh serta mengamalkan Pancasila.
  2. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
  3. Mempertahankan serta memelihara kerukunan nasional serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan langsung, gerombolan , serta golongan.
  5. Melaksanakan peranan menjadi wakil rakyat serta wakil daerah.

Fraksi serta kelompok anggota


Fraksi MPR (2017)

Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yg mencerminkan konfigurasi partai politik. Fraksi bisa dibentuk oleh partai politik yg memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yg dari menurut anggota DPR wajib sebagai anggota salah satu fraksi. Fraksi dibuat buat mengoptimalkan kinerja Majelis Permusyawaratan Rakyat dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil masyarakat. Pengaturan internal fraksi sepenuhnya sebagai urusan fraksi masing-masing.
Fraksi Jumlah Anggota Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) 109 Ahmad Basarah Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) 91 Rambe Kamaruzzaman Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra) 73 Edhie Prabowo Fraksi Partai Demokrat (F-PD) 61 Evert Ernest Mangindaan Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) 48 Alimin Abdullah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) 47 Muhammad Lukman Edy Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) 40 Ahmad Zainuddin Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) 39 Irgan Chairul Mahfiz Fraksi Partai NasDem (F-NasDem) 36 Bachtiar Aly Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-Hanura) 16 Sarifuddin Sudding Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 132 Bambang Sadono
Kelompok anggota


Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dari berdasarkan semua anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk mempertinggi optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR serta anggota dalam melaksanakan tugasnya menjadi wakil daerah. Pengaturan internal Kelompok Anggota sepenuhnya sebagai urusan Kelompok Anggota.

Alat kelengkapan

Alat kelengkapan MPR terdiri atas; Pimpinan dan Panitia Ad Hoc.
Pimpinan
Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yg dari dari anggota DPR serta 4 (empat) orang wakil kepala yang terdiri atas dua (2) orang wakil ketua berasal berdasarkan anggota DPR serta dua (dua) orang wakil ketua berasal menurut anggota DPD, yg ditetapkan dalam sidang sempurna MPR. Namun pada periode 2018 - 2018 pemilihan pimpinan MPR dilaksanakan dengan mengajukan dua paket yang di usung sang 2 koalisi besar (KMP serta KIH) dengan struktur terdiri 4 orang berdasarkan DPR serta 1 orang dari DPD.
Panitia Ad Hoc

Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota serta paling banyak 10% (sepuluh %) berdasarkan jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR serta unsur DPD secara proporsional menurut setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR.
Sidang

MPR bersidang sedikitnya duakali pada lima tahun di ibukota negara.
Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat sah jika dihadiri:
  • sekurang-kurangnya 3/4 menurut jumlah Anggota MPR buat memutus usul DPR buat memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
  • sekurang-kurangnya 2/tiga dari jumlah Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat buat mengganti serta menetapkan UUD
  • sekurang-kurangnya 50%+1 menurut jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
  • sekurang-kurangnya 2/tiga berdasarkan jumlah Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yg hadir buat memutus usul DPR buat memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
  • sekurang-kurangnya 50%+1 berdasarkan seluruh jumlah Anggota MPR buat memutus kasus lainnya.
Sebelum merogoh putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan menggunakan musyawarah buat mencapai output yang konsensus.
Sekretariat Jenderal


Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan (disingkat Setjen Majelis Permusyawaratan Rakyat) merupakan Aparatur Pemerintah yang berbentuk Kesekretariatan Lembaga Negara. Setjen MPR dipimpin sang seseorang Sekretaris Jenderal yg berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bertanggung jawab kepada Pimpinan MPR.

Popular posts from this blog

Pembagian Persebaran Flora dan Fauna di Indonesia Terbaru

ADZAN IQOMAH DAN DOA SESUDAH ADZAN TERBARU

Mencari Keliling dan Luas Gabungan Dari Persegi Panjang dan Setengah Lingkaran Terbaru